Jumat, 09 Oktober 2009

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

[115]. I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut:

a. Para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat "Uhilla lakum lailatashshiamir rafatsu sampai atimmush shiyama ilal lail" (S. 2: 187)
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal. Hadits ini masyhur, artinya hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya. Walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu'adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya.)

b. Seorang shahabat Nabi SAW tidak makan dan minum pada malam bulan Ramadhan, karena tertidur setelah tibanya waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang shahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar), ketika tiba waktu berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya yang kebetulan belum tersedia. Ketika istrinya menyediakan makanan, karena lelahnya bekerja pada siang harinya, Qais bin Shirmah tertidur. Setelah makanan tersedia, istrinya mendapatkan suaminya tertidur. Berkatalah ia: "Wahai, celakalah engkau." (Pada waktu itu ada anggapan bahwa apabila seseorang sudah tidur pada malam hari bulan puasa, tidak dibolehkan makan). Pada tengah hari keesokan harinya, Qais bin Shirmah pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) sehingga gembiralah kaum Muslimin.

c. Para shahabat Nabi SAW apabila tiba bulan Ramadhan tidak mendekati istrinya sebulan penuh. Akan tetapi terdapat di antaranya yang tidak dapat menahan nafsunya. Maka turunlah ayat " 'Alimal lahu annakum kuntum takhtanuna anfusakum fataba'alaikum wa'afa 'ankum sampai akhir ayat."
(Diriwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra.)

d. Pada waktu itu ada anggapan bahwa pada bulan Ramadhan yang puasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika 'umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi SAW setelah larut malam. Ia menginginkan menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: "Saya sudah tidur." 'Umar berkata: "Kau tidak tidur", dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka'b berbuat seperti itu. Keesokan harinya 'umar menceritakan hal dirinya kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) dari awal sampai akhir ayat.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka'b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya.)

e. Kata "minal fajri" dalam S. 2: 187 diturunkan berkenaan dengan orang-orang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak puasa. Mereka makan dan minum sampai jelas terlihat perbedaan antara ke dua tali itu, Maka turunlah ayat "minal fajri". Kemudian mereka mengerti bahwa khaithul abydlu minal khaitil aswadi itu tiada lain adalah siang dan malam.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa'id.)

f. Kata "wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid" dalam S. 2: 187 tersebut di atas turun berkenaan dengan seorang shahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang i'tikaf.
(Diriwayatkan oleh ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah.)




























Tafsir Jalalain.
Karya Imam Jalaludin Al Mahaali dan Imam Jalaludin Al Suyuthi

" Uhilla lakum lailatas shiyaamir rofatsu ilaa nisaa^ikum.. ( Di halalkan bagi kamu pada malam hari puasa berkencan dengan istri-istrimu) maksudnya mencampuri mereka. Ayat ini turun menashahkan hukum yang berlaku di masa prmulaan islam berupa di haramkannya mencampuri istri itu, begitu pula di haramkannya makan minum setelah waktu Isya. - hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna.. ( mereka itu pakaian bagi kamu dan kamu pakaian bagi mereka) sindiran bahwa kedua mereka saling bergantung dan saling membutuhkan.- 'alimallohu annakum kuntum tahtaanuun.. (Alloh mengetahui bahwa kamu akan berkhianat pada) atau mengkhianati "anfusakum"(dirimu). Dengan melakukan jima' atau hubungan suami istri.





































Tafsir Ibnu Katsir, Qs Al Baqoroh: 187..
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Tafsir Ibnu Katsir
Ini merupakan rukhshah dari Allah bagi kaum muslimin dan Allah menghilangkan perkara yang dijalankan pada permulaan Islam. Pada masa itu, apabila seorang muslim berbuka, maka dihalalkan baginya makan, minnm, dan berjima hingga shalat isya atau dia tidur. Apabila dia sudah tidur atau shalat isya, maka haram baginya makan, minum, dan berjima hingga malam berikutnya. Maka mereka mendapat kesulitan yang besar karenanya. Yang dimaksud [[rafats]] sini ialah jima'.
Demikianlah menurut pendapat sekelompok ulama yang terdiri atas Ibnu Abbas dan beberapa tabi'in.
Sehubungan dengan firman Allah, "Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka," Ibnu Abbas dan ulama lainnya berkata, "Mereka dapat membuatmu tenteram dan kamu pun dapat membuat mereka tenteram. Secara singkat dapat dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan dapat saling menggauli, menyentuh, dan mencampuri. Adalah sangat tepat bila Allah memberi mereka kemurahan untuk bergaul pada malam Ramadhan agar hal itu tidak memberatkan dan menyusahkan mereka. Seorang penyair bersenandung:
"Kegaduhan terjadi bila si betina menggoyang-goyangkan lehernya merajuk. Maka dia merupakan busana si jantan."
Sebagaimana telah dikemukakan, ayat itu diturunkan karena, "Apabila seorang sahabat berpuasa, yaitu sebelum difardhukannya puasa Ramadhan, kemudian dia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan dan sejenis nya. Qais bin Sharimah al Anshari pernah berpuasa, pada hari itu dia bekerja di ladang. Ketika waktu berbuka tiba, dia menemui istrinya seraya bertanya, 'Apakah kamu punya makanan?' Istrinya menjawab, 'Tidak punya, tetapi kami akan pergi mencarikannya untukmu.' Qais tidak tahan menahan kantuk sehingga dia pun tertidur. Kemudian istrinya datang. Ketika dilihat suaminya sudah tertidur, dia berkata, 'Rugilah kamu! Mengapa kamu tidur?' Ketika esoknya Qais berpuasa sampai tengah hari, maka dia pun pingsan. Kemudian hal itu diceritakan kepada Rasulullah saw.. Maka turunlah ayat, 'Dihalalkan bagi kamu berjima' dengan istrimu pada malam puasa... Makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.' Maka orang-orang sangat bergembira karenanya."
Firman Allah,
"Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka ..."
ini diturunkan berkenaan dengan kasus Qais bin Sharimah yang diceritakan sebelumnya, karena , "di sana ada seorang muslim yang tidak mampu menahan nafsunya. Mereka menggauli istri-istri mereka pada malam bulan Ramadhan, yaitu setelah isya dan setelah tidur. Di antara yang melakukan hal itu adalah Umar bin Khaththab. Perbuatan semacam itu dilarang sebagaimana telah diutarakan, sebab sebelum itu, apabila mereka telah shalat isya mereka diharamkan berjima, makan, dan sejenisnya. Kemudian mereka mengadu kepada Rasulullah saw. sehingga Allah menurunkan ayat, "Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu." Maksudnya, kamu menggauli istrimu, makan, dan minum setelah isya. "Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang gaulilah mereka," yakni campurilah mereka, "dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu", yaitu anak, "dan makan serta minumlah kamu hingga terlihat jelas olehmu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam."
Hal itu merlipakan pemaafan dan rahmat dari Allah. Maka Allah membolehkan makan, minum, dan berjimak pada seluruh malam sebagai kemurahan, rahmat, dan kasih sayang dari Allah.
Firman Allah
"Makan dan minumlah kamu hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam karena fajar"
yakni hingga jelas terangnya pagi dari gelapnya malam. Dan untuk menghilangkan kesamaran, maka Allah berfirman "Yaitu fajar."
Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Adi bin Hatim, dia berkata :
"Saya bertanya, 'Wahai Rasulullab, apa maksudnya benang putih dari benang hitam, apakah keduanya merupakan dua jenis benang?' Nabi bersabda, 'Sesungguhnya kamu hanya menerka-nerka saja bila kamu melihat dua benang.' Beliau melanjutkan, 'Bukanlah demikian, namun yang dimaksud ialah gelapnya malam dan terangnya siang.'" (HR Bukhari)
Kebolehan makan hingga terbit fajar yang diberikan Allah merupakan dalil bagi disunnahkannya sahur, karena hal itu merupakan bagian rukhshah dan memanfaatkannya adalah disukai. Sunnah pun mendorong untuk makan sahur. Dalam shahihain dikatakan dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Makan sahurlah kamu, karena di dalamnya terdapat berkah." (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits lainnya ialah,
"Sesungguhnya Rasulullah saw. mengistilahkan sahur dengan santapan berkah."
Dalam Shahihain dikatakan oleh Qasim dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda
"Azan Bilal tidaklah menghalangi sahurmu, karena dia azan pada malam hari. Maka makan dan minumlah kamu hingga mendengar azan Ibnu Ummi Maktum, karena dia tidak azan kecuali ketika terbit fajar." (HR Bukhari Muslim)

Masalah: perbuatan Allah menjadikan fajar sebagai akhir dari kebolehan berjima, makan, dan minum bagi orang yang hendak berpuasa dapat dijadikan dalil bahwa barangsiapa yang junub pada waktu subuh, maka mandi besarlah dan sempurnakanlah puasanya serta tiada dosa atasnya. Itulah pandangan keempat mazhab dan jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah dan Ummi Salamah bahwa keduanya berkata , "Adalah Rasulullah saw. masih junub karena jima dan bukan karena mimpi pada waktu subuh. Kemudian beliau mandi besar dan melanjutkan puasanya." Dalam hadits Ummi Salamah yang diriwayatkan Syaikhani dikatakan, "Beliau tidak berbuka dan tidak meng-qadhanya."
"Kemudian sempurnakanlah hingga malam." Berbuka pada saat terbenam matahari merupakan tuntutan hukum syara' sebagaimana dikemukakan dalam shahihain dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab r.a. dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda
"Jika malam datang dari sana dan siang menyingkir dari sana, maka orang yang berpuasa dapat berbuka." (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Sahl bin Sa'ad as-Saidi r.a. dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda
"Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menye-gerakan berbuka." (HR Bukhari dan Muslim)
Puasa Wishal
Kemudian, dalam hadits-hadits sahih terdapat larangan berpuasa secara wishal, yaitu menyambungkan puasa hari ini dengan hari berikutnya, dan di antara kedua hari itu dia tidak makan apa pun. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu berpuasa wishal." Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, engkau sendiri melakukannya!" Nabi bersabda, "Sesungguhnya aku berbeda dengan kamu. Pada malam hari Dia memberiku makan dan minum." Abu Hurairah berkata: "Ketika orang-orang tidak menghentikan puasa wishal, maka Nabi saw. berpuasa secara wishal bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat datangnya hilal bulan Syawal. Maka beliau bersabda, 'Seandainya hilal itu tidak keburu datang, niscaya kutambah puasa wishal'mi? Rasulullah mengucapkan hal itu dengan nada marah karena mereka tidak mau menghentikan puasa wishal." Hadits ini dikemukakan dalam shahihain dari hadits az-Zuhri.
Telah menjadi ketetapan bahwa puasa wishal dilarang. Puasa wishal merupakan ibadah khusus bagi Nabi saw. Beliau sangat memperhatikan dan mementingkannya. Yang jelas bahwa makan dan minumnya Rasulullah saw. itu bersifat spiritual, bukan konkret. Jika bukan makanan dan minuman spiritual, maka dia tidak dikatakan berpuasa wishal kalau memakan makanan sesungguhnya. Namun, wishal sampai sahur dibolehkan karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda
"Janganlah kamu berpuasa wishal (menyambung). Barangsiapa di antara kamu hendak menyambung puasa, maka berwishallah sampai sahur. " (HR Bukhari dan Muslim)
Firman Allah,
"Janganlah kamu campuri mereka ketika kamu tengah beriktikaf dalam masjid."
Sebelumnya, orang-orang yang beriktikaf di masjid suka keluar kemudian mereka berjima semaunya. Kemudian turunlah ayat ini yang melarang mereka berbuat demikian sebelum mereka menyelesaikan iktikafnya. Yakni, janganlah kamu mendekati istrimu selagi kamu beriktikaf di masjid. Dengan demikian, diharamkan kepada orang yang beriktikaf bercampur dengan istrinya. Apabila dia mesti pulang ke rumah karena ada suatu kebutuhan, maka dia mesti memenuhinya dalam kadar waktu yang cukup untuk makan atau buang air, misalnya. Dia tidak boleh mencium atau memeluk istrinya serta melakukan perkara lain selain iktikaf.
Dalam shahihain terdapat hadits dari Aisyah r.a. bahwa dia berkata, "Adalah Nabi saw. mendekatkan kepalanya kepadaku ketika aku sedang haid, maka aku membiarkannya. Beliau tidak masuk ke rumah kecuali untuk memenuhi keperluan kemanusiaan." Aisyah berkata, "Ketika beliau sakit, beliau tinggal di rumah. Aku tidak bertanya kepadanya, dan aku hanya lewat saja."
Penuturan Allah Ta'ala ihwal iktikaf setelah berpuasa mengandung bimbingan dan peringatan supaya umatnya beriktikaf pada bulan puasa atau pada sepuluh hari terakhir bulan tersebut, sebagaimana hal itu ditetapkan dalam Sunnah dari Rasulullah saw.
"Beliau beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadh an hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau juga beriktikaf sepeninggal beliau." (HR Bukhari dan Muslim)
Firman Allah,
"Itulah larangan Allah,"
yakni perkara yang telah Kami jelaskan, fardhukan, dan tetapkan ihwal puasa dan hukum-hukumnya, apayang Kami bolehkan pada bulan itu, apa yang Kami larang, Kami tuturkan tujuannya, ihwal rukhshah dan 'azimah-nya, itu merupakan had-had Allah yang telah dijelaskan dan disyariatkan oleh Zat-Nya.
"Maka janganlah kamu mendekatinya."
Maksudnya, janganlah kamu melewati dan melintasinya.
"Demikianlah, Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia."
Yakni, sebagaimana Allah telah menerangkan puasa, hukum, syariat, dan rinciannya, maka demikianlah Dia menjelaskan hukum-hukum lainnya kepada manusia melalui lisan hamba-Nya Muhammad saw.
" agar mereka bertakwa",
yakni agar mengetahui bagaimana mereka beroleh petunjuk dan bagaimana melakukan ketaatan, sebagaimana Allah berfirman, "Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu." (al Hadiid ayat 9)