Sabtu, 26 Juni 2010

dengan mu

Aku yang ingin bermjupa denganmu
seakan tak mampu lagi untuk menahannya
gejolak rindu di dada tak bisa aku tahan walau hanya sekejap
aku tak berdaya ketika berhadapan dengan mu
Wahai kekasih hatiku kuingin lebih dekat lagi
dan lebih dekat lagi
Biar rasa curiga ini terobati, biar rasa cemburu ini ter balaskan

transformasi

TRANSFORMASI SOSIAL MENUJU PERADABAN BARU
Berubah butuh pengetahuan, karena pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan setiap orang yang ingin berubah, begitu juga di sebuah komponen masyarakat yang menginginkan perubahan dari keterbelakangan peradaban menuju kemajuan, disini dibutuhkan kelompok penggerak yang berjuang dengan penuh keikhlasan untuk mewujudkan cita-cita tersebut, tanpa adanya penggerak maka mustahilah sebuah perubahan akan terjadi, menciptakan masyarakat yang memiliki pandangan yang jelas tentang kehidupan serta memiliki kesadaran yang tinggi akan posisi dan keadaan masyarakat bukan sebuah cita-cita yang mudah untuk dijalankan namun tercapainya bukan suatu yang mustahil, untuk itu langkah yang pertama-tama diambil untuk melancarkan program tersebut, sasaran yang harus dibidik terlebih dahulu adalah pendidikan, kerena dengan pendidikan paradigma masyarakat akan berubah dari yang tidak memilki misi dalam hidup menjadi memiliki misi, dari yang tidak memiliki orientasi menjadi memiliki, untuk itu sasaran pendidikan adalah target utama yang meski digarap agar tahap awal dari sebuah perubahan dapat berjalan dengan lancar. Selanjutnya seorang penggerak juga harus memiliki posisi yang strategis dalam sebuah komponen masyarakat, agar keberadaan serta ide-idenya mudah diterima tanpa rasa curiga yang berlebihan dari kalangan masyarkat, karena seperti apapun ide-ide cemerlang yang kita gulirkan jika kita tidak memiliki posisi yang strategis dalam sebuah komponen masyarakat maka sulitlah baginya untuk merealisasikan programnya .

satuan ukur

SATUAN UKUR, PENGGUNAAN KALKULATOR DAN
RUMUS-RUMUS DASAR SEGITIGA

SATUAN UKUR
Dalam praktek perhitungan, ilmu falak menggunakan satuan ukur derajat, menit dan detik untuk menyatakan besarnya suatu sudut dan juga menggunakan satuan ukur jam, menit dan detik untuk menyatakan suatu waktu.
Tanda yang digunakan untuk menyatakan derajat, menit dan detik adalah:
___0 = derajat 1 lingkaran = 3600
___’ = menit 10 = 60’
___’’ = detik 1’ = 60’’
misalnya: 30 5’ 7’’ dibaca: tiga derajat lima menit tujuh detik.
Sedangkan tanda yang digunakan untuk menyatakan jam, menit dan detik adalah:
___ j = jam 1 hari = 24j
___ m = menit 1j = 60m
___ d = detik 1m = 60d
misalnya: 03j 04m 05d dibaca: tiga jam empat menit lima detik.
Sekalipun demikian, antara jam, menit dan detik dapat dipisahkan dengan tanda titik dua (:), misalnya 05: 07: 03 dibaca: lima jam tujuh menit tiga detik.
Dalam praktek perhitungan ilmu falak, sering dilakukan konversi (pemindahan) dari satuan ukur sudut (derajat) menjadi satuan ukur waktu (jam) atau sebaliknya. Konversi ini dilakukan dengan berpedoman pada tempuhan peredaran semu matahari, yang sekali putaran (3600) memerlukan waktu 24 jam, sehingga:
3600 = 24j 24j = 3600
150 = 1j 1j = 150
10 = 4m 4m = 10
15’ = 1m 1m = 15’
1’ = 4d 4d = 1’
15’’ = 1d 1d = 15’’
1.Konversi derajat menjadi jam
Mengkonversi derajat menjadi jam, bila menggunakan kalkulator cukuplah mudah, yaitu data derajat dibagi 15.
misalnya: 150 30’ 45’’ : 15 = 01j 02m 03.00d atau 01:02:03.00
2.Konversi jam menjadi derajat
Mengkonversi jam menjadi derajat, bila menggunakan kalkulator cukup mudah pula, yaitu data jam dikalikan 15.
misalnya: 01j 02m 03.00d atau 01:02:03.00 x 15 = 150 30’ 45’’
Selain satuan ukur di atas, masih ada lagi satuan ukur yang juga dipergunakan dalam astroomi yatu:
Astronomical unit (AU) adalah satuan ukur yang berdasarkan pada jarak rata-rata antara bumi dengan matahari, yaitu ± 150 juta km. Jadi 1 AU = 150 juta km.
Tahun cahaya adalah satuan ukur yang berdasarkan pada kecepatan cahaya. Satu tahun cahaya adalah jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun. Cahaya matahari yang dipancarkan olehnya hingga ke permukaan bumi yang jaraknya 150 juta km itu memerlukan waktu selama ±8 menit, sehingga 1 tahun cahaya adalah sejauh 9.505.306 juta km atau 63.369 AU.
Parsec (parallaks satu second) adalah satuan ukur yang berdasarkan pada sudut parallaks. Satu parsec adalah ukuran jarak yang memungkinkan sudut parallaks sebesar 1 detik. Untuk mendapatkan harga parallaks sebesar 1 detik, maka suatu benda angit harus berada pada jarak ± 206.265 AU atau 3,25 tahun cahaya.

KALKULATOR (KASIO 3650P/KARCE KC-131 DAN SEMACAMNYA)
1.Memasukkan data
Untuk perhitungan besaran sudut (derajat, menit, detik) atau besaran waktu (jam, menit, detik), maka cukup menekan tombol 0’’’ (untuk Kasio 3650P) atau D0M’S (untuk Karce Kc-131).
Bagi kalkulator yang mau digunakan, maka pastikan terlebih dahulu bahwa kalkulator dapat berfungsi untuk hitungan derajat, yaitu dengan munculnya tulisan D (singkatan dari Deg) pada layar. Kemudain untuk memasukkan data sudut (derajat, menit, detik) maupun data waktu (jam, menit, detik) dengan menggunakan tombol 0’’’ atau D0M’S yaitu:
Tekan pertama (T1) berfungsi untuk menyatakan derajat atau jam.
Tekan kedua (T2) berfungsi untuk menyatakan menit.
Tekan ketiga (T3) berfungsi untuk menyatakan detik.
Misalnya untuk kalkulator seri Kasio 3650P atau Karce Kc-131 dan semacamnya:
T1 T2 T3
200 25’ 40.5’’ tekan 20 0’’’/D0M’S 25 0’’’/D0M’S 40.5 0’’’/D0M’S tampil 200 250 40.50
2.Positif dan negatif
Data yang diperlukan dalam perhitungan ilmu falak itu tidak selamanya positif (+), namun adakalanya negatif (-). Apabila data yang ada itu negatif, maka tekan tombol negatif dulu (untuk Karce Kc-131 adalah (-)), setelah itu baru menekan angka yang yang dikehendaki.
misalnya:
-200 25’ 40.5’’ tekan (-) 20 0’’’/D0M’S 25 0’’’/D0M’S 40.5 0’’’/D0M’S tampil -200 250 40.50
3.Fungsi trigonometri
Fungsi trigonometri yang biasa dipakai dalam perhitungan ilmu falak adalah sin (sinus), cos (cosinus), tan (tangens) dan cotan (cotangens). Untuk memperoleh harga (nilai) sin, cos, atau tan untuk suatu data, maka tekan tombol fungsi yang dikehendaki (sin, cos, atau tan), setelah itu baru data dimasukkan.
Sedangkan untuk memperoleh harga (nilai) cotan dari suatu data, maka caranya adalah tekan 1 : tan data.
4.Invers
Invers suatu nilai fungsi trigonometri atau arc fungsi trigonometri adalah besarnya suatu sudut dari harga (nilai) suatu fungsi trigonometri. Biasanya ditulis dengan sin-1, cos-1, tan-1 atau cotan-1.
Untuk memperoleh besarnya suatu sudut dari suatu harga (nilai) fungsi trigonometri adalah dengan menekan tombol Shift, kemudian tekan tombol trigonometri ybs.
Agar angka di layar langsung menunjukkan besarnya suatu sudut, maka tekan sekali lagi tombol INV atau Shift atau 2nd kemudian tekan tombol 0’’’ atau Deg.
Misalnya:
a. sin-1 A = sin 230 26’ 27’’ x sin 1550 5’ 50.05’’

Shift
sin
(
sin 230
26’
27’’
x
Sin
1550
5’
50.05’’
)
Exe
90 38’ 34’’



b. cos-1 B = tan 200 25’ 30.5’’ - cos -500 55’ 5.05’’
Shift
cos
(
tan 200
25’
30,5’’
-
Cos
-500
55’
5.05’’
)
Exe
shift
D’M’S’
1040 57’ 13’’

c. tan-1 C = cotan 150 25’ 40’’ x sin -50 10’ 35’’
Shift
tan
(
1
:
tan
150
25’
40’’
x
sin
(-)
50
10’
35’’
exe
shift
D’M’S’
-180 6’ 15’’






d. cotan-1 D = cotan -750 25’ 40.5’’ : sin -150 20’ 15.5’’
(
tan
(-)
75
0’’’
25
0’’’
45.5
0’’’
)
Shift1/x
:
sin
(-)
15
0’’’
20
0’’’
15.5
0’’’
EXE
shift1/x
Shift
tan
Shift exe
exe
Shift
D’M’S’
hasil D = 450 29’ 47.97’’

C. RUMUS-RUMUS DASAR SEGITIGA
1.Segitiga pada bidang datar

C


b a



A c B

Di atas adalah gambar segitga ABC yag siku-siu pada sudut B. Sisi a (sisi di depan sudut A ) sebagai sisi siku-siku. Sisi b (sisi di depan sudut B) sebagai sisi miring. Sisi c (sisi di depan sudut C) ebagai sisi alas atau sisi siku-siku pengapit.
a : b = sin A c : b = sin C
c : b = cos A a : b = cos C
a : c = tan A c : a = tan C
c : a = cotan A a : c = cotan C
a : sin A = b c : sin C = b
c : cos A = b a : cos C = b
a : tan A = c c : tan C = a
c : cotan A = a a: cotan C = c
b x sin A = a b x sin C = c
b x cos A = c b x cos C = a
c x tan A = a a x tan C = c
a x cotan A = c c x cotan C = a
2.Segitiga pada permukaan bola
Segitiga pada permukaan bola yang dikenal dengan segitiga bola adalah segitiga yang berada pada bidang yang tidak datar, melainkan cembung sesuai kulit bola ybs, di mana sisi-sisinya terdiri dari busur yang melewati lingkaran-lingkaran besar pada bola itu.
Segitiga bola ini ada dua macam, yaitu segitiga siku-siku (tegak) dan segitiga serong. Segitiga bola siku-siku adalah segitiga bola yang salah satu sisinya terdiri dari busur yang melewati kedua kutub lingkaran besar pada bola itu. Sedangkan segitiga bola serong adalah yang tidak demikian.
Dengan bantuan gambar segitiga ABC di atas yang kemudian dipindah ke permukaan bola, sehingga menjadi segitiga bola ABC di permukaan bola.
sin b x sin A = sin a sin c x tan A = tan a
sin b x sin C = sin c sin a x tan C = tan c
sin a x sin C = cos A cotan C x cotan A = sin b
cos c x sin A = cos C cos A : sin C = cos a
cos b x tan C = cotan A cos C : sin A = cos c
tan b x cos C = tan a cos b : cos c = cos a
tan b x cos A = tan c cos b : cos a = cos c

Dalil sinus:
sin a = sin b = sin c
sin A sin B sin C

Dalil cosinus:
cos a = cos b cos c + sin b sin c cos A
cos b = cos a cos c + sin a sin b cos B
cos c = cos a cos b + sin a sin b cos C

konsep hisab bayang bayang

bayangan arah kiblat
bayangan kiblat adalah bayangan scriap bcmla yang bcrdiri tcgak lurus di permukaan Inimi berimpit dengan ;irah kiblat, su-hingga langsungmenunjukkan arah kiblat. Hal damkianini tcntu-nya tcrjadi pada siang hari, karcna bayangan yang cliinaksnd ndalah sinar matahari yang tcrhahing ok'h bcnda yang bcrsangkutan.
A. bkberapa istilah
Sebclum Icbih lanjut mcmbicarakan bayangan arah kiblat, ada baiknya mengetahui 6 istilah bcrikut ini :
1. Deklinasi Matahari. 4. Waktu Sctcmp.it.
2. Equation of Time. 5. Waktu Dacrah.
3. Meridian Pass. 6. Intcrpolasi Wakiu.
1. Deklinasi Matahari
Deklinasi matahari atau Mailas Sjams adalah jarak scpanjang lingkaran deklinasi dihitung dari equator sampai matahari, DaJam astronomi dilambangkan dengan 5 (delta)


















Untuk mcmpermudah dalam penyclidikan benda-benda langir diperlukan wakru yang retap (constant) yakni sehari semalam 24 jam yang disebut dengan Waktu Pertengahan arau Waktu Wasatty, Wakru ini didasarkan pada peredaran matahari hayalan serta peredaran bumi mengelilingi matahari berbenruk lingkaran (bukan ellips).

Dengan demikian Equation of Time :
Equation of Time - Waktu Hakiki - Waktu Pertengahan
Sedangkan Waktu Pertengahan :
Waktu Pertengahan - Waktu Hakiki - Equation of Time
Nilai Equation of Time pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu selama satu tahun. Nilai ini dapat dikerahui pada tabel-tabel astronomis, misalnya Almanak Nautika, Ephemeris, aiau pada daftat terlampir.

Equation of Time
3. Meridian Pass
Meridian Pass (MP) adalah waktu pada saat matahari tepat di titik kulminasi atas atau tcpat di meridian langit menurut waktu pertengahan, yang menurut waktu hakiki saat itu menjunjukkan tepat jam 12 siang.
MP ini dapat dihitung dcngan rumus MP = 12 - e , dimana e adalah equation of time. Meridian Pass ini sangat penting artinya dalam pcrhitungan ilmu falak, karena ia merupakan pangkal ukur selama sudut waktu.
4. Waktu Setempat
Waktu setcmpat adalah waktu pertengahan menurut bujur tempat di suatu tempat, sehingga sebanyak bujur tempat di per-mukaan bumi sebanyak itu pula waktu pertengahan didapati. Waktu demikian ini disebut pula dengan Local Mean Time (UVlT)
Misalnya jam 10 waktu pertengahan di Yogyakarta berbeda dengan jam 10 waktu pertengahan di Jakarta dan bcrbcda pula dengan jam 10 waktu pertengahan di Medan. Schingga apabila ada tiga orang masing-masingbertempat tinggal di tiga kota tersebuc (Yogyakarta, Jakarta, dan Medan) berjanji akan bertemu di suatu tcmpat pada jam 12 waktu pertengahan, tcntunya akan muncul pertanyaan yakni waktu pertengahan menurut mana P karena ketiga koia tcrsebut mas ing-making memiliki jam 12 waktu pertengahan yang antara satu dengan lainnya beda discbabkan oleh bujur tcmpat ketiga kota tcrsebut berbeda. Untuk mengatasi pcroalan ini dibuallah kclompok waktu yang kemudian dikenal dengan nama Waktu Daerah (Zone Time}.
5. Waktu Daerah
Waktu dacrah adalah waktu yang diberlakukan untuk satu wilayah bujur tempat (meridian) tertcntu, sehingga dalam *atu wilayiih bujur ybs hanya bcrlaku satu waktu dacrah. Oleh karena-nya, dacrah dalam satu wilayah itu discbut Dearah Kesaluan Waken.
Pembagian wilayah dacrah kcsatuan waktu pada dasarnya berdasarkan pada kclipatan bujur tcmpat 15" (360" : 24 jam x 1") yang dihitung mulai bujur tempat yang melewati kota C Irecnwich Q. = 0").
Sementara bcrdasarkan Kcputusan Presiden RT (Soeharto) nomor 41 tahun 19H7 tanggal 26 Nopembcr 1987 (mencabur Kepres nomor 243 tahun 1963 - Soekarno) wilayah Indonesia terbagi atas tiga dacrah waktu, yaitu :
a.Waktu Indonesia Barat (WIB) yang perpcdoman pada 105° BT (GMT + 7 jam), meliputi:
l) seiuruh IJropinsi Daerah Tingkat I Sumatra.
2) Seluruh Propinsi Daerah Tingkat I Jawa dan Madura.
3) Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat.
4) Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
b. Waktu Indonesia Tengah (WITA) yang pcrpedoman pada 120° BT (GMT + 8 jam), meliputi:
1) Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Ttmur.
2) Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Sclatan.
3) Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
4) Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat.
5) Propinsi Daerah Tingkat 1 Nusa Tenggara Timur.
6) Propinsi Daerah Tingkat I ^TimorTimuf).
7) Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi.
c. Waktu Indonesia Timur (WIT) yang pcrpedoman pada 135" BT (GMT + 9 jam), meliputi :
1) Propinsi Daerah Tingkat I Maluku.
2) Propinsi Daerah Tingkat 1 Irian Jaya.
Dcngan Waktu dacrah semacam ini, persoalan sepeni di atas dapat teraiasi. Kalau dikatakan jam 12 WIB, rnaka bagi orang Yogyakarta, orang Jakarta, rnaupun orang Mcdan adalah sama, karena sebagai acuannya adalah bujur tempat (meridian) 105" (bukan bujur tempat masing-masing kota itu).
6. Interpolasi Waktu
LIntuk merubah dari waktu pcrtcngahan mcnjadi waktu daerah diperlukan koreksi yang disebut Inttrpolasi Waktu. Fnterpolasi waktu ini pada dasarnya adalah wakru yang digunakan oleh matahari hayalan mulai saat bcrkulminasi aras di suaru tempat sampai saat ia berkulminasi atas di tempat lain. Olch karenanya, intcrpolasi waktu dapat dipahami scbagai "sclisih waktu antara dua tempat".
Harga interpolasi wakru dapat diketahui dengan cara menghitung sclisih bujur antara dua tempat kemudtan konversi menjadi waktu dengan rumus :
Interpolasi Waktu = ( K - Xd ) : 15
= 105" A-d WITA = 120° Ad WIT = 135°
Setelah incerpolasi waktu didapatkan, maka
Waktu Daerah = Waktu Pertengahan - Interpolasi Waktu
Misalnya ada pertanyaan :
"Di Yogyakarta ( X = 1 10" 21' BT ) jam 10' 15'" waktu periengahan, maka pada saat itu menurui WIB jam bcrapa?"
Jawabnya dapai dihitungsbb :
Intcrpolasi Waktu = ((110" 21' - 105") : 15) = 00' 21'" 24'1
WIB = 10' 1.9" - 00j 21"' 24'' = 09' 53™ 36'' |adi pada saai itu WIB menunjukkan jam 09' 53'" 36''

hisab awal shalt

HISAB AWAL WAKTU SHALAT
A.Pendahuluan
Penentuan awal waktu shalat dalam hazanah kepustakaan Islam lebih dikenal dengan “Hisab Awal Waktu Shalat”. Penentuan awal waktu shalat dapat diartikan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menetapkan kapan (jam berapa) mulai masuk waktu shalat tertentu pada hari yang tertentu di tempat yang tertentu pula. Kegiatan yang paling menonjol dalam penentuan awal waktu shalat tersebut adalah berupa perhitungan-perhitungan. Oleh karena itu penentuan awal waktu shalat lebih dikenal dengan hisab awal waktu shalat. Hisab yang berasal dari Bahasa Arab hisab itu, salah satu artinya yang paling dasar adalah “perhitungan”.
Di samping hisab awal waktu shalat masih ada kegiatan-kegiatan lain yang sejenis yang oleh umat Islam dikenal juga dengan hisab, yaitu: Hisab Arah Kiblat, Hisab Awal Bulan dan Hisab Gerhana. Hisab Arah Kiblat adalah serangkaian kegiatan untuk menentukan arah kiblat bagi suatu tempat. Hisab awal bulan adalah serangkaian kegiatan untuk menentukan tanggal satu bulan setiap bulan qomariyah. Sedangkan Hisab Gerhana adalah serangkaian kegiatan untuk menentukan kapan terjadinya gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan.
Hisab Awal Waktu Shalat biasanya meliputi awal waktu shalat wajib lima waktu dan akhir waktu shalat subuh (syuruq). Bagi kalangan tertentu dimasukan pulan awal waktu shalat Dhuha. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai awal waktu shalat wajib lima waktu dan akhir waktu shalat subuh (syuruq) serta waktu imsak dan awal waktu dhuha.
B.Pedoman Syar’i Tentang Waktu-waktu Shalat
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ (4) ayat 103:
إن الصلوة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا.
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Firman Allah tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan shalat itu ditentukan waktunya. Hanya saja mengenai kapan waktunya itu, ayat tersebut tidak menegaskannya. Dalam ayat itu tidak dijelaskan kapan waktunya itu dimulai dan kapan pula waktunya itu berakhir.
Surat Al-Isra’ (17) ayat 78:
أقم الصلوة لدلوك الشمس إلى غسق اليل وقرأن الفجر إن قرأن الفجر كان مشهودا .
Artinya “Tunaikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan (tunaikanlah pula shalat) subuh, sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
Ayat ini menerangkan tentang waktu-waktu shalat fardhu yang lima. Tergelincir matahari untuk waktu-waktu shalat zuhur dan ‘ashar, gelap malam untuk waktu-waktu shalat magrib dan ‘isya’, dan waktu fajar untuk waktu shalat subuh. Ayat ini juga tidak menegaskan dengan jelas kapan waktu-wkatu masing-masing shalat itu dimulai dan kapan pula waktu-aktunya itu berakhir.
Surat Hud (11) ayat 114:
وأقم الصلوة طرفى النهار وزلفا مت اليل .

Artinya “Dan tunaikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam”.
Ayat ini menerangkan tentang waktu-waktu shalat. Akan tetapi tidak menjelaskan secara tegas mengenai kapan waktu masing-masing shalat itu dimulai dan kapan pula waktunya itu berakhir.
Dalam ayat yang lain, Surat Thaha (20) ayat 130:
وسبح بحمد ربك قبل طلوع الشمس وقبل غروبها ومن أنائ اليل فسبح وأطراف النهار لعلك ترضى .
Artinya “dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit (subuh) dan sebelum terbenamnya (zuhur dan ‘ashar), dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari (‘isya’), dan pada penghujung siang (magrib), supaya kamu merasa senang.”
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa waktu-waktu shalat itu adalah pada saat sebelum terbit matahari, sebelum terbenam matahari, pada waktu malam hari, dan pada penghujung siang hari. Kata-kata bertasbih dalam ayat ini diartikan dengan menunaikan shalat. Bertasbih sebelum matahari berarti shalat subuh, bertasbih sebelum terbenam matahari berarti shalah zuhur dan ‘ashar, bertasbih pada waktu-waktu di malam hari berarti shalat ‘isya’, dan bertasbih di penghujung siang hari berarti shalat magrib. Meskipun ayat ini relatif lebih rinci dari ayat 103 surat an-Nisa’ dan ayat-ayat lainnya sebagaimana disebutkan di atas akan tetapi belum dapat menunjukkan secara jelas kapan waktu masing-masing shalat itu dimulai dan kapan waktunya itu berakhir. Melalui ayat ini baru diketahui akhir waktu shalat subuh yaitu terbit matahari, akhir waktu ‘ashar yaitu terbenam matahari, dan awal waktu shalat magrib yaitu terbenam matahari (penghujung siang).
Ketentuan mengenai batas-batas waktu shalat dijelaskan secara lebih rinci dalam hadis-hadis Nabi saw. Di antara hadis-hadis Nabi saw, adalah:
1.Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmizi dari Jabir Ibnu Abdillah r.a:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال: إن النبى صلعم جاءه جبريل عليه السلام فقال له, قم فصله فصلى الظهر حتى زالت الشمس ثم جاءه العصر فقال: قم فصله فصلى العصر حين صارظل كل شيئ مثله, ثم جاءه المغرب فقال: قم فصله فصلى المغرب حين وجبت الشمس, ثم جاءه العشاء فقال: قم فصله فصلى العشاء حين غاب الشفق ثم جاءه الفجر فقال: قم فصله فصلى الفجر حين برق الفجر أو قال سطع الفجر. ثم جاءه من الغد للظهر فقال: قم فصله فصلى الظهر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه العصر فقال: قم فصله فصلى العصر حين صارظل كل شيئ مثليه, ثم جاءه المغرب وقنا واحدا لم يزل عنه, ثم جاءه العشاء حين ذهب نصف اليل أو قال ثلث اليل فصلى العشاء ثم جاءه حين أسفر جدا فقال: : قم فصله فصلى الفجر, ثم قال: ما بين هذين الوقتين وقت.
Artinya “Telah datang Jibril a.s. kepada Nabi saw lalu berkata kepadanya “bangunlah dan shalatlah”, kemudian Nabi saw. shalat ‘ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama panjangnya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu magrib di kala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ‘isya’ lalu berkata “bangunlah dan shalatlah”, kemudian Nabi saw shalat ‘isya’ di kala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata: “bangunlah dan shalatlah”, kemudian Nabi saw. shalah fajar (subuh) di kala ia datang lagi pada waktu zuhur, kemudian berkata kepadanya : “bangunlah dan shalatlah”, kemudian Nabi saw. shalat zuhur di kala bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya. Kemudian datang lagi kepadanya pada waktu magrib dalam waktu yang sama, tidak tergeser dari waktu yang sudah. Kemudian datang lagi kepadanya pada waktu ‘isya’’ di kala telah berlalu separo malam, atau ia berkata, telah berlalu sepertiga malam, kemudian Nabi saw. shalat ‘isya’ kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata: “bangunlah dan shalatlah”, kemudian Nabi saw. shalat fajar kemudian Jibril berkata: “saat di antara dua waktu itu adalah waktu shalat”.
2.Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah ibn Amr r.a:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنا قال: إن النبي صلعم قال: وقت الظهر إذا زالت الشمس وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضر العصر, ووقت العصر مالم تصفر الشمس, ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق, ووقت صلاة العشاء إلى نصف اليل الأوسط, ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس.
Artinya “Sesungguhnya Nabi saw bersabda: waktu zuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama panjangnya, yaitu selama belum datang waktu ‘ashar. Waktu ‘ashar selama matahari belum menguning. Waktu shalat magrib selama mega merah belum terbenam. Waktu shalat ‘isya’ sampai tengah malam yang pertengahan. Waktu shalat subuh mulai terbit fajar sampai selama matahari belum terbit.
3.Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Tsabit:
تسخرنا مع النبى صاى الله عليه وسلم ثم قام إلى الصلاة قلت كم كان بين الأذان والسحور قال قدر خمسين أية.
Artinya: “Kami (Zaid bin Tsabit) sahur bersama Rasulullah saw, kemudian melakukan shalat (subuh). Saya bertanya “Berapa lama ukuran antara sahur dan shalat subuh?”. Rasulullah menjawab: “Seukuran membaca 50 ayat al-Qur’an”.
Berdasarkan hadis-hadis tersebut dapat diketahui batas-batas waktu shalat fardhu yang lima, yaitu sebagai berikut :
1.Waktu-waktu shalat telah ditentukan oleh Allah lewat Malaikat.
2.Shalat Zuhur dimulai sejak matahari tergelincir ke arah barat sampai bayang-bayang suatu benda sama panjangnya.
3.Shalat ‘ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu benda sama panjangnya sampai matahari menguning.
4.Shalat magrib dimulai sejak matahari terbenam sampai hilang mega merah
5.Shalat ‘isya’ dimulai sejak menghilangnya mega merah sampai sepertiga malam atau separo malam.
6.Shalat subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
7.Imsak terjadi sebelum fajar seukuran membaca 50 ayat al-Qur’an.
Dalam memahami atau mengambil kesimpulan dari dua hadis tersebut sering dijumpai perbedaan pendapat berkenaan dengan akhir waktu shalat zuhur dan awal waktu shalat ‘ashar, akhir waktu shalat ‘ashar dan awal waktu magrib, serta akhir waktu shalat ‘isya’ dan awal waktu shalat subuh.
Dalam hadis Jabir dinyatakan bahwa pada suatu ketika Nabi saw. shalat ‘ashar pada saat bayang-bayang sesuatu sama panjangnya dan pada ketika yang lain pada saat yang sama Nabi saw. shalat zuhur dan shalat ‘asharnya justru pada saat bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya. Persoalannya, kapan berakhirnya waktu shalat zuhur dan kapan mulainya waktu shalat ‘ashar itu. Oleh sebagian ulama, masalah ini diselesaikan dengan menyatakan adanya waktu musytarak (bersamaan) antara shalat zuhur dengan shalat ‘ashar. Penyelesaian yang lain adalah penyelesaian yang merujuk kepada kaidah-kaidah ilmu falak. Yang terakhir ini tidak menyimpulkan adanya waktu musytarak tersebut.
Persoalan lainnya adalah adanya tenggang waktu antara berakhirnya waktu shalat ‘ashar (matahari menguning) dan mulainya waktu shalat magrib (matahari terbenam). Di sini ada waktu luang yang tidak termasuk waktu shalat ‘ashar maupun waktu shalat magrib. Demikian pula halnya tenggang waktu separo malam yang merupakan batas berakhirnya waktu shalat ‘isya’ dan terbit fajar yang merupakan batas awal waktu shalah subuh. Sebagian ulama memang menyimpulkan adanya waktu, yakni fajar, yang tidak termasuk dalam waktu-waktu shalat, baik shalat ‘asar, magrib, ‘isya’ maupun subuh. Pendapat yang lain mengatakan bahwa waktu luang itu tidak ada, begitu berakhir waktu shalat ‘ashar maka masuklah waktu shalat magrib dan begitu berakhir waktu shalat ‘isya’ maka masuklah waktu shalat subuh. Jadi waktu shalat ‘ashar berakhir pada saat matahari terbenam (awal waktu shalat magrib) dan waktu shalat ‘isya’ berakhir pada saat terbit fajar (awal waktu shalat subuh). Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Ibnu Abbas yang artinya “waktu zuhur hingga waktu ‘ashar, waktu ‘ashar hingga waktu magrib, waktu magrib hingga waktu ‘isya’ dan waktu ‘isya’ hingga waktu fajar (subuh)”. Dengan demikian antara waktu shalat yang sebelumnya dan yang berikutnya terjadi secara beruntun kecuali waktu shalat subuh dengan waktu shalat zuhur. Pendapat yang terakhir inilah yang biasanya dijadikan dasar untuk menentukan waktu-waktu shalat, sebagaimana terlihat dalam tabel-tabel waktu shalat yang berkembang di masyarakat.
C.Kedudukan Matahari pada Awal Waktu Shalat
Bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan syara’ di atas, Ilmu Falak menyimpulkan bahwa waktu-waktu shalat tersebut didasarkan kepada fenomena matahari. Tergelincir matahari, panjang pendeknya bayang-bayang sesuatu, terbenam matahari, mega merah, fajar menyingsing dan terbit matahari, seluruhnya merupakan fenomena matahari. Keadaan-keadaan yang merupakan pertanda awal atau akhirnya waktu shalat sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw di atas sangat tergantung pada kedudukan matahari. Oleh sebab itu, Ilmu Falak menerjemahkan ketentuan-ketentuan syara’ tersebut dengan kedudukan atau posisi matahari di saat-saat membuat atau mewujudkan keadaan-keadaan yang merupakan pertanda bagi awal atau akhir waktu shalat.
Kedudukan matahari pada awal-awal waktu shalat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Awal Waktu Zuhur
Awal waktu shalat Zuhur sebagaimana dijelaskan di atas adalah pada saat matahari tergelincir, atau matahari terlepas dari meredian langit. Mengingat bahwa sudut waktu itu dihitung dari meredian langit, maka ketika matahari berada di meredian tentunya mempunyai sudut waktu 00 dan pada saat itu waktu menunjukkan jam 12 menurut waktu matahari hakiki.
Pada saat itu waktu pertengahan belum tentu menunjukkan jam 12, melainkan kadang masih kurang atau bahkan sudah lebih dari jam 12 tergantung pada nilai equation of time (e). Oleh karenanya, waktu pertengahan pada saat matahari berada di meredian (Meredian Pass) dirumuskan dengan MP = 12 – e. Sesaat setelah waktu inilah sebagai permulaan waktu shalat dhuhur menurut waktu pertengahan dan waktu ini pulalah sebagai pangkal hitungan waktu-waktu shalat lainnya.
2.Awal Waktu ‘Ashar
Awal waktu shalat ‘ashar menurut hadis di atas ada dua kemungkinan, yaitu pada saat bayang-bayang sesuatu sama panjangnya, atau pada saat bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya. Ketentuan ini oleh Ilmu Falak dipahami bukan sebagai suatu perbedaan atau bahkan pertentangan, tetapi lebih merupakan ketentuan yang sifatnya kondisional. Jadi awal waktu shalat ‘ashar itu terjadi pada saat bayang-bayang sesuatu sama panjangnya atau mungkin pada saat bayang-bayang sesuatu benda lebih panjang dari panjang bendanya itu sendiri. Hal ini bisa terjadi terutama bagi tempat-tempat yang jauh dari khatulistiwa. Bagi tempat-tempat yang jauh dari khatulistiwa, di suatu ketika pada saat matahari berkulminasi (batas awal waktu shalat zuhur) bayang-bayang sesuatu mungkin sudah sama panjangnya atau bahkan lebih panjang. Dalam keadaan serupa ini tidak mungkin menetapkan bahwa awal waktu shalat ‘ashar pada saat bayang-bayang sesuatu sama panjangnya, sebab saat itu baru masuk waktu shalat zuhur. Itulah sebabnya ketentuan matahari membuat bayang-bayang suatu benda sama panjangnya ditambah dengan bayang-bayang pada saat matahari berkulminasi. Kedudukan matahari sedemikian rupa ini kemudian ditunjukkan dengan “ketinggian matahari” (h). Pada ketinggian tertentu, matahari dapat membuat bayang-bayang sesuatu sama panjangnya ditambah bayang-bayang pada saat matahari berkulminasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dalam lampiran.
3.Awal Waktu Magrib
Dalam al-Qur’an maupun dalam al-Hadis ditegaskan bahwa awal waktu shalat magrib adalah pada saat matahari terbenam. Dalam Ilmu Falak, yang dimaksud dengan matahari terbenam adalah apabila piringan matahari secara keseluruhan sudah tidak kelihatan, karena sudah berada di bawah ufuk. Keadaan demikian, secara astronomis dapat dirumuskan dengan: “Matahari dikatakan terbenam apabila pinggir piringan atasnya menurut penglihatan si pengamat sudah berimpit dengan Horizon Mar’i (ufuk bagi penglihatan si pengamat)”. Kedudukan matahari sedemikian rupa kemudian ditunjukkan dengan “ketinggian matahari saat terbenam” (h). Untuk menentukan ketinggian matahari pada saat terbenam ini diperlukan data: Semi Diameter Matahari (SD), Refraksi matahari (R) dan Kerendahan ufuk (Dip). Kerendahan ufuk baru diketahui apabila diketahui terlebih dahulu ketinggian tempat dari permukaan laut atau dari daerah sekitar, yang lebih dikenal dengan “markaz”.
4.Awal Waktu ‘Isya’
Waktu shalat ‘isya’ mulai masuk apabila mega merah yang nampak di langit bagian barat, tempat matahari terbenam, sudah hilang sama sekali. Saat-saat mega merah itu menghilang, dalam astronomi dikenal dengan “astonomical twilight”, yakni suatu saat yang bagi para ahli perbintangan mulai melakukan observasi-observasinya, karena mulai saat itu mereka mulai mendapatkan obyek-obyek di langit dengan cahaya yang maksimal tanpa diganggu oleh cahaya-cahaya merah di waktu senja. Mega merah tersebut sebenarnya merupakan pantulan sinar matahari yang sudah melemah. Semakin jauh matahari di bawah horizon, semakin melemah sinar pantulan matahari yang kemerah-merahan itu, sampai suatu saat hilang sama sekali. Berdasarkan observasi dan penelitian yang berulang-ulang, sinar pantulan matahari yang kemerah-merahan (mega merah) itu menghilang pada saat matahari mencapai ketinggian 180 di bawah horizon atau -180. Dengan demikian ketinggian matahari pada awal waktu shalat ‘isya’ adalah -180 (h = -180).
5.Awal Waktu Subuh
Awal waktu shalat subuh ditandai dengan munculnya fajar sidiq di ufuk sebelah timur. Pada saat itu cahaya bintang-bintang di langit sudah mulai redup disebabkan oleh pengaruh sinar matahari yang akan terbit di bagian sebelah timur. Semakin mendekat matahari ke horizon, semakin terang sinar pantulannya dan semakin reduplah cahaya bintang-bintang. Perubahan cahaya bintang-bintang menjadi mulai memudar itu dipahami oleh para ahli astronomi, karena cahaya bintang itu dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mulai memancarkan sinarnya di sebelah timur, yaitu fajar. Berdasarkan observasi dan penelitian yang berulang-ulang diketahuilah bahwa fajar tersebut secara teoritik mulai muncul pada saat matahari mencapai ketinggian 180 di bawah horizon atau -180. Namun karena para ahli perbintangan baru saja mengalami gelapnya malam, kemudian keadaan alam berubah dari gelap menjadi terang, maka kepekaan mata dan perubahan keadaan dari gelap menjadi terang menyebabkan perubahan cahaya bintang-bintang di langit mulai memudar sejak matahari berada pada ketinggian 200 di bawah horizon atau -200. Itulah sebabnya ketinggian matahari pada awal waktu shalat subuh ditetapkan 200 dibawah horizon atau -200 (h = -200).
6.Waktu Syuruq (Terbit Matahari)
Kedudukan matahari pada saat terbit sama dengan kedudukannya pada saat terbenam. Hanya saja kalau saat terbenam berada di ufuk sebelah barat, sedangkan pada saat terbit berada di ufuk sebelah timur. Seperti halnya pada saat terbenam, yang dimaksud dengan matahari terbit adalah apabila pinggir piringan atasnya menurut penglihatan si pengamat sudah melewati (berimpit dengan) Horizon Mar’i (ufuk bagi penglihatan si pengamat). Kedudukan matahari sedemikian rupa ini kemudian ditunjukkan dengan “ketinggian matahari saat terbit” (h). Untuk menentukan ketinggian matahari pada saat terbit ini diperlukan data: Semi Diameter Matahari (SD), Refraksi matahari (R) dan kerendahan ufuk (Dip). Kerendahan ufuk baru diketahui apabila diketahui terlebih dahulu ketinggian tempat dari permukaan laut atau dari daerah sekitar, yang lebih dikenal dengan “markaz”.
7.Waktu Imsak
Waktu imsak adalah waktu tertentu sebagai batas akhir makan sahur bagi orang yang akan melakukan puasa pada siang harinya. Waktu imsak ini sebenarnya merupakan langkah kehati-hatian agar orang yang melakukan puasa tidak melewati batas waktu mulianya yakni fajar.
Sementara waktu yang diperlukan untuk membaca 50 ayat al-Qur’an itu sekitar 8 menit maka waktu imsak terjadi 8 menit sebelum waktu subuh. Oleh karena 8 menit itu sama dengan 20, maka tinggi matahari pada waktu imsak ditetapkan –220 di bawah ufuk timu atau h = -220.
8.Waktu Dhuha
waktu dhuha dimulai ketika matahari setinggi tombak. Dalam ilmu falak diformulasikan dengan jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuk sampai posisi matahari pada awal waktu dhuha yakni 30 30’ atau h = 30 30’.
D.Perhitungan Awal Waktu Shalat
Perhitungan awal waktu shalat pada hakekatnya adalah menentukan kapan (jam berapa) saat matahari mencapai posisi atau kedudukan tertentu sesuai dengan posisi atau kedudukannya pada awal-awal waktu shalat. Untuk menjawab persoalan ini paling tidak ada empat tahap yang harus ditempuh.
Pertama, menentukan kedudukan matahari yang dinyatakan dengan ketinggiannya pada awal-awal waktu shalat. Tahap ini tidak perlu dilakukan untuk perhitungan awal waktu shalat zuhur, karena awal waktu shalat zuhur pada saat matahari berkulminasi. Dengan demikian bisa langsung menentukan saat matahari berkulminasi.
Kedua, menentukan saat matahari berkulminasi atau meredian pass (MP). Saat matahari berkulminasi ini menjukkan bahwa titik pusat matahari pada saat tersebut berada pada lingkaran meridian setempat. Saat inilah yang merupakan batas awal waktu shalat zuhur.
Ketiga, menentukan “Sudut Waktu Matahari” (t) pada saat matahari berada pada kedudukan atau posisi yang sesuai dengan kedudukan atau posisinya pada awal-awal waktu shalat. Sudut waktu ini menunjukkan besaran busur yang dilalui oleh matahari sejak ia berkulminasi hingga mencapai kedudukannya sesuai dengan kedudukan pada awal-awal waktu shalat, atau besaran busur yang dilalui oleh matahari sejak ia berada pada kedudukan sesuai dengan kedudukannya pada awal atau akhir waktu shalat hingga mencapai kulminasi. Sudut waktu ini mula-mula dinyatakan dalam satuan derajat, menit dan detik busur, kemudian diubah menjadi jam, menit dan detik waktu. Sudut waktu matahari yang sudah dinyatakan dalam satuan jam, menit dan detik waktu tersebut menunjukkan tenggang waktu antara saat kulminasi matahari dengan saat matahari berada pada kedudukan yang sesuai dengan kedudukannya pada awal-awal atau akhir waktu shalat.
Keempat, menentukan saat awal-awal atau akhir waktu shalat yaitu dengan menambahkan sudut matahari terhadap saat matahari berkulminasi, bagi awal waktu shalat ‘ashar, magrib dan ‘isya’. Atau mengurangi saat kulminasi matahari dengan sudut waktu matahari, bagi awal waktu shalat subuh dan akhir waktu shalat subuh atau saat terbit matahari (syuruq) serta waktu imsak dan dhuha.
E.Langkah dan Proses Perhitungan Awal Waktu Shalat
Secara umum, perhitungan awal waktu shalat itu melalui empat langkah, yaitu: (1) penyediaan data, (2) penyediaan rumus-rumus, (3) pemrosesan data melalui rumus, dan (4) penarikan kesimpulan. Keempat langkah ini berlaku untuk semua perhitungan awal waktu shalat, bahkan untuk perhitungan waktu terbit matahari (syuruq). Secara rinci, langkah dan proses perhitungan awal waktu shalat itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Istilah yang harus diketahui:
a. Tinggi matahari adalah jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuk sampai matahari. Dalam ilmu falak disebut irtifa’us syams yang biasa diberi tanda ho (high of sun). tinggi matahari bertanda positif (+) apabila posisi matahari berada di atas ufuk. Demikian pula bertanda negatif bila matahari di bawah ufuk
b. Sudut waktu matahari adalah busur sepanjang lingkaran harian matahari dihitung dari titik kulminasi atas sampai matahari berada. Atau sudut pada kutub langit selatan atau utara yang diapit oleh garis meredian dan lingkaran deklinasi yang melewati matahari. Dalam ilmu falak diebut fadhlu da’ir yang biasa dilambangkan dengan to.
Harga atau nilai sudut waktu adalah 00 sampai 1800. Nilai sudut waktu 0 adalah ketika matahari berada di titik kulminasi atas atau tepat di meredian langit, sedangkan nilai sudut waktu 180 adalah ketika matahari berada di titik kulminasi bawah. Apabila matahari berada di sebelah barat meredian atau di belahan langit sebelah barat maka sudut waktu bertanda positif (+), dan apabila matahari berada di sebelah timur meredian atau di belahan langit sebelah timur maka sudut waktu bertanda negatif (-).
c. Ikhtiyat diartikan sebagai pengaman, yaitu suatu langkah pengaman dalam perhitungan awal waktu shalat dengan cara menambah atau mengurangi sebesar 1 s/d 2 menit waktu dari hasil perhitungan yang sebenarnya. Ikhtiyat ini biasanya dilambangkan dengan i. Ikhtiyat berfungsi untuk:
a.Mencakup luas daerah yang menjadi tempat perhitungan
b.Koreksi atas sesuatu dalam hasil perhitungan
c.Membuat lebih menyakinkan bahwa waktu shalat telah masuk
d.Pembulatan ke dalam satuan terkecil menit waktu
2. Data yang diperlukan:
Data berikut ini adalah data yang dipergunakan dalam perhitungan awal waktu shalat, meskipun tidak setiap data itu harus ada dalam setiap awal waktu shalat. Penyediaan data ini sangat tergantung pada awal waktu shalat mana yang akan dihitung.
a. Lintang tempat (), yaitu jarak dari suatu tempat (titik) di permukaan bumi ke khatulistiwa diukur melalui lingkaran meridian yang melalui tempat itu. Lintang tempat ini dinyatakan dalam satu derajat, menit dan detik busur. Lintang tempat berkisar antara 00 sampai dengan 900 baik sebelah utara khatulistiwa maupun sebelah selatannya. Lintang tempat yang berada di sebelah utara khatulistiwa disebut Lintang Utara (LU) dan ditandai dengan (+), sedangkan lintang tempat yang berada di sebelah selatan disebut lintang selatan (LS) dan ditandai dengan tanda (-). Data lintang ini dapat dicari dalam peta-peta , buku-buku ilmu falak atau astronomi dan atlas-atlas, misalnya atlas Der Gehele Aarde yang disusun oleh P.R. Boss, J.F. Niermeyer dan kawan-kawan.
b. Bujur tempat (), yakni jarak dari suatu tempat (titik) di permukaan bumi ke lingkaran meredian utama (prime meredian), yakni meredian yang melalui tempat dekat kota Greenwich di London, diukur melalui lingkaran khatulistiwa ke arah barat atau ke arah timur. Permukaan bumi ini oleh lingkaran meridian dibagi menjadi 3600, yakni mulai dari 00 ke sebelah barat sampai 1800 dan dari 00 ke sebelah timur sampai 1800. Lingkaran meridian 00 ditetapkan pada lingkaran Meridian Utama yang melalui sebuah tempat dekat kota Greenwich tersebut, dan dikenal pula dengan istilah Meridian Greenwich. Dari Meridian 00 ke sebelah barat sampai ke meridian 1800 disebut Bujur Barat (BB) dan kadang-kadang ditandai dengan (-), sedangkan ke sebelah timur disebut sampai ke meridian 1800 disebut Bujur Timur (BT) dan kadang-kadang ditandai dengan (+). Pertemuan antara Bujur Barat dan Bujur Timur ini berada pada lingkaran meridian 1800. Meridian 1800 Bujur Barat dan meridian 1800 Bujur Timur berimpit. Dengan demikian lingkaran meridian 1800 adalah merupakan kebalikan dari lingkaran meridian 00. Seperti halnya Lintang Tempat, Bujur Tempat ini pun dapat dicari dalam peta-peta, buku-buku Ilmu Falak dan atlas-atlas.
c. Bujur Tolok Waktu Daerah. Data Bujur Tempat dan Bujur Tolok Waktu Daerah harus ada apabila awal waktu shalat akan ditentukan menurut Waktu Daerah, misalnya WIB, WITA dan WIT. Apabila awal waktu shalat akan ditentukan menurut waktu setempat (WST), maka data ini tidak diperlukan. Berdasarkan KEPRES Nomor 41 Tahun 1987 Negara Republik Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah waktu, yaitu : Waktu Indonesia Barat yang disingkat WIB dengan bujur tolok 1050 BT, dan Waktu Indonesia Tengah yang disingkat dengan WITA dengan bujur tolok 1200 BT, dan Waktu Indonesia Timur yang disingkat dengan WIT dengan bujur tolok 1350 BT. Perbedaan antara masing-masing wilayah waktu tersebut adalah 150 atau satu jam. Dengan demikian apabila di wilayah WIB jam menunjukkan pukul 07.00, maka saat itu menurut wilayah waktu WITA sudah pukul 08.00, dan menurut wilayah waktu WIT sudah pukul 09.00.
d. Kerendahan Ufuk (Dip), yakni perbedaan jarak dari titik zenith ke horizon hakiki dan dari titik zenith ke horizon mar’i atau kaki langit. Kerendahan ufuk ini dapat diketahui setelah terlebih dahulu diketahui ketinggian tempat dari permukaan laut atau dari daerah sekitar. Ketinggian tempat ini dikenal pula dengan istilah “markaz”. Makin tinggi kedudukan seseorang di permukaan bumi, makin besar nilai kerendahan ufuknya. Data ini diperlukan untuk menghitung ketinggian matahari pada saat terbenam dan pada saat terbik (syuruq).
e. Semi Diameter Matahari (SD), yaitu setengah garis tengah matahari. Data ini diperlukan untuk menghitung ketinggian matahari pada saat terbenam dan pada saat terbit. Data ini dapat dicari dalam daftar ephemeris misalnya dalam Almanak Nautika.
f. Refraksi matahari (R). Yaitu pembiasan sinar matahari. Data ini diperlukan untuk menghitung ketinggian matahari pada saat terbenam dan pada saat terbit. Besar refraksi pada saat matahari terbenam maupun terbit ditetapkan sebesar 34’ 30”.
g. Deklinasi matahari (), yaitu jarak matahari dari lingkaran Ekuator diukur sepanjang lingkaran waktu yang melalui matahari itu hingga ke titik pusat matahari tersebut. Deklinasi ini ukurannya dinyatakan dengan derajat, menit dan detik busur. Deklinasi matahari selalu berubah-ubah sepanjang tahun, tetapi pada saat-saat (tanggal-tanggal) tertentu ia mempunyai nilai deklinasi yang sama. Suatu ketika ia berada di sebelah utara khatulistiwa dan pada ketika yang lain berada di sebelah selatan khatulistiwa. Jika deklinasi matahari itu berada di sebelah utara biasanya ditandai dengan (+), sedangkan jika berada di sebelah selatan ditandai dengan (-). Dari tanggal 21 Maret hingga tanggal 22 September deklinasi berkisar antara 00 hingga 230 27’, matahari berada di sebelah utara khatulistiwa, sedangkan dari tanggal 23 September hingga tanggal 20 Maret deklinasi berkisar antara 00 hingga -230 27’, matahari berada di sebelah selatan khalutistiwa. Pada sekitar tanggal 21 Maret dan 23 September matahari berkedudukan di equator, deklinasinya 00. Nilai deklinasi yang tertinggi yakni 230 27’ sebelah utara khatulistiwa dicapai oleh matahari pada sekitar tanggal 21 Juni, sedangkan nilai deklinasi yang tertinggi itu di sebelah selatan khatulistiwa dicapai pada sekitar tanggal 22 Desember. Deklinasi matahari ini diperlukan untuk semua perhitungan awal waktu shalat dan syuruq, kecuali awal waktu shalat zuhur. Data deklinasi ini dapat ditemukan dalam buku-buku Ilmu falak atau daftar-daftar yang memuat data astronomi, misalnya Almanak Nautika.
h. Perata Waktu atau Equation of Time (e), yaitu selisih antara Waktu Matahari Hakiki dengan Waktu Matahari Pertengahan. Peredaran semu harian matahari dari arah timur ke arah barat ini tidaklah konstan, kadang-kadang cepat kadang-kadang lambat. Keadaan ini diakibatkan oleh percepatan bumi mengelilingi matahari tidak konstan dan bidang edarnya berbentuk elips. Waktu Matahari Hakiki adalah waktu peredaran semu matahari yang senyatanya, sedangkan Waktu Matahari Pertengahan adalah waktu peredaran semu matahari diandaikan ia beredar dengan kecepatan yang konstan, sebagaimana terlihat pada jam (arloji) yang kita pakai. Setiap matahari berkulminasi atas, berarti jam 12.00 menurut Waktu Matahari Hakiki, tetapi belum tentu menurut Waktu Matahari Pertengahan, mungkin lebih dari jam 12.00 atau bahkan sebaliknya kurang dari jam 12.00 tersebut. Data Equation of Time ini diperlukan untuk menghitung saat matahari berkulminasi atau dengan kata lain, saat ephemeris transit (e.t). Data equation of Time dapat ditemukan dalam daftar-daftar ephemeris seperti Almanak Nautika. Dalam Almanak Nautika data ini disajikan dalam dua waktu yaitu pada jam 00.00 dan pada jam 12.00 GMT. Dalam daftar ephemeris yang lain, seperti The Astronomical Almanac tidak disajikan data Equation of Time, melainkan langsung disajikan daftar ephemeris transit (saat matahari berkulminasi).
3. Penyediaan Rumus
Rumus-rumus berikut ini ada yang berlaku atau dipergunakan untuk semua awal waktu shalat termasuk syuruq, ada pula yang hanya dupergunakan untuk awal waktu shalat tertentu saja. Rumus-rumus yang dipergunakan dalam perhitungan awal waktu shalat dan syuruq itu adalah sebagai berikut :
a. Rumus Ketinggian Matahari
Rumus ketinggian matahari ini hanya diperlukan untuk awal waktu shalat ‘ashar, magrib dan saat terbit matahari (syuruq). Sedangkan untuk awal waktu shalat zuhur rumus ini tidak diperlukan. Demikian pula halnya untuk ketinggian matahari pada saat awal waktu shalat ‘isya’ dan subuh, karena keduanya telah ditetapkan, yaitu untuk shalat ‘isya’ -180 dan untuk shalat subuh -200.
1). Rumus ketinggian matahari pada awal waktu shalat ‘ashar adalah:




h adalah ketinggian matahari pada awal waktu shalat ‘ashar
zm adalah jarak zenith pada saat matahari berkulminasi
2).Rumus ketinggian matahari pada awal waktu shalat magrib dan waktu terbit matahari (syuruq) adalah:




h adalah ketinggian matahari pada awal waktu shalat Magrib, atau pada saat matahari terbit
S.D. adalah Semi Diameter matahari pada saat terbenam atau terbit
R’ adalah refraksi matahari pada saat terbenam atau saat terbit
Dip adalah Kerendahan Ufuk
m adalah ketinggian tempat dari permukaan laut atau daerah sekitar (markaz) diukur dalam satuan meter.
b.Rumus Sudut Waktu Matahari (t) pada awal waktu shalat
Rumus Sudut Waktu Matahari adalah:



t adalah Sudut Waktu Matahari pada awal waktu shalat
 adalah Lintang Tempat
 adalah Deklinasi Matahari pada saat awal waktu shalat
h adalah ketinggian pada awal waktu shalat (diperhatikan rumus pada butir b di atas)
Hasil perhitungan dengan rumus ini berupa angka dalam satuan derajat, menit dan detik busur. Hasil ini harus diubah menjadi satuan jam, menit dan detik waktu, dengan cara membaginya dengan angka 15. Rumus ini tidak dipergunakan untuk awal waktu shalat zuhur, karena Sudut Waktu Matahari pada awal waktu shalat zuhur 00. Dengan kata lain, sudut waktu matahari pada saat berkulminasi besarnya 00.
c.Rumus Meredian Pass (MP)
Rumus Meredian Pass (MP) adalah



e adalah Equation of Time atau Perata Waktu
Rumus ini digunakan dalam semua perhitungan awal waktu shalat dan syuruq serta imsak dan dhuha. Rumus ini dimaksudkan untuk mengetahui saat matahari berkulminasi atas menurut waktu matahari pertengahan setempat.
d.Rumus Selisih Waktu Bujur
Rumus Selisih Waktu Bujur adalah:



tp adalah Bujur Tempat
dh adalah Bujur Tolok Waktu Daerah
Rumus ini digunakan untuk semua awal waktu shalat, termasuk waktu terbit matahari. Apabila hasil terakhir akan ditentukan menurut waktu daerah. Selisih Waktu Bujur dikurangkan apabila bujur tempat berada di sebelah timur bujur tolok waktu daerah, sebaliknya apabila bujur tempat berada di sebelah barat bujur tolok waktu daerah maka selisih waktu bujur ditambahkan.
e.Rumus Untuk Penyimpulan
Rumus ini sangat tergantung pada awal waktu shalat mana yang akan disimpulkan. Untuk itu, berikut ini disajikan rumus untuk masing-masing awal waktu shalat itu dan waktu syuruq.
1).Awal waktu shalat zuhur = MP - Selisih Waktu Bujur + i
2).Awal waktu shalat ‘ashar, magrib dan ‘isya’ =
(MP + t) - < atau +> Selisih Waktu Bujur + i
3).Awal waktu shalat subuh = (MP-t) - Selisih Waktu Bujur + i
4).Awal waktu syuruq = (MP-t) - Selisih Waktu Bujur – I
5).Waktu imsak = (MP-t) - Selisih Waktu Bujur – I
6).Waktu dhuha = (MP-t) - Selisih Waktu Bujur – I














PRAKTEK HISAB AWAL WAKTU SHALAT
Mengenai proses pengolahan data dengan menggunakan rumus-rumus untuk mendapatkan hasil yang dicari, dapat dijelaskan berikut ini untuk masing-masing awal waktu shalat termasuk imsak dan syuruq.
1.Awal waktu shalat zuhur
Data yang harus ada:
Bujur tempat (λ) dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Rumus yang digunakan:
Selisih waktu bujur = /λ tp – λ dh/ : 15
Awal waktu shalat zuhur = MP – (atau +) selisih waktu bujur + i
2.Awal waktu shalat ‘ashar
Data yang harus tersedia:
Lintang tempat (φ)
Bujur tempat (λ) dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Deklinasi matahari (δ)
Rumus yang digunakan:
zm = /φ – δ/
h = cotan h = tan zm + 1
t = cos t = - tan φ . tan δ + sin h : cos φ : cos δ
Selisih waktu bujur = /λ tp – λdh/ : 15
Awal waktu shalat ‘ashar = (MP + t) – (atau +) selisih waktu bujur + i
3.Awal waktu shalat magrib
Data yang harus tersedia:
Lintang tempat (φ)
Bujur tempat (λ)dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Deklinasi matahari (δ)
Semi diameter matahari (S.D.)
Refraksi (R’)
Markaz (M)
Rumus yang digunakan:
Dip = 1.76’ √ M
h = - (S.D. + R’ + Dip)
t = cos t = - tan φ . tan δ + sin h : cos φ : cos δ
Selisih waktu bujur = /λ tp – λdh/ : 15
Awal waktu shalat magrib = (MP + t) – (atau +) selisih waktu bujur + i
4.Awal waktu shalat ‘isya’
Data yang harus tersedia:
Lintang tempat (φ)
Bujur tempat (λ) dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Deklinasi matahari (δ)
Rumus yang digunakan:
h = -180
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
Selisih waktu bujur = /λ tp – λdh/ : 15
Awal waktu shalat ‘isya’ = (MP + t) – (atau +) selisih waktu bujur + i
5.Awal waktu shalat subuh
Data yang harus tersedia:
Lintang tempat (φ)
Bujur tempat (λ) dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Deklinasi matahari (δ)
Rumus yang digunakan:
h = -200
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
Selisih waktu bujur = /λ tp – λdh/ : 15
Awal waktu shalat subuh = (MP - t) – (atau +) selisih waktu bujur + i
6.Waktu imsak
Data yang harus tersedia:
Lintang tempat (φ)
Bujur tempat (λ) dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Deklinasi matahari (δ)
Rumus yang digunakan:
h = -220
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
Selisih waktu bujur = /λ tp – λdh/ : 15
Awal waktu imsak = (MP - t) – (atau +) selisih waktu bujur - i
7. Waktu syuruq
Data yang harus tersedia:
Lintang tempat (φ)
Bujur tempat (λ) dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Deklinasi matahari (δ)
Semi diameter matahari (S.D.)
Refraksi (R’)
Markaz (M)
Rumus yang digunakan:
Dip = 1.76’ √ M
h = - (S.D. + R’ + Dip) atau dapat langsung menggunakan data -10
t = cos t = - tan φ . tan δ + sin h : cos φ : cos δ
Selisih waktu bujur = /λ tp – λdh/ : 15
Awal waktu syuruq = (MP - t) – (atau +) selisih waktu bujur - i
8.Awal waktu dhuha
Data yang harus tersedia:
Lintang tempat (φ)
Bujur tempat (λ) dan bujur tolok daerah
Equation of time (e)
Deklinasi matahari (δ)
Rumus yang digunakan:
h = 30 30’
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
Selisih waktu bujur = /λ tp – λdh/ : 15
Awal waktu shalat ‘isya’ = (MP - t) – (atau +) selisih waktu bujur + i

Contoh proses penghitungan:
Hitunglah awal waktu shalat zuhur, ‘ashar, magrib, ‘isya’, subuh serta imsak, syuruq dan dhuha untuk kota Purwokerto pada tanggal 26 Nopember 2005.
Data:
Lintang tempat (φ) = -070 28’ (LS)
Bujur tempat (λ) = 1090 13’ (BT)
Bujur tolok daerah = WIB (1050 BT)
Equation of time (e) = 00 j 12m 31d
Deklinasi matahari (δ) = -210 49’ 30’’
Semi diameter matahari (S.D.) = 16’ 12’’
Refraksi (R’) = 34’ 30’
Markaz (M) = 90 meter
h ‘isya’ = -180
h subuh = -200
h imsak = -220
h dhuha = 30 30’

1.Awal waktu shalat zuhur
MP = 12j – e
= 12j – 00 12m 31d
= 11j 47m 29.00d (LMT)
s.w.b = /1090 13’ – 1050/ : 15 = 00j 16m 52.00d -
11j 30m 37.00d
ikhtiyat = 00j 01m 23.00d +
11j 32m (WIB)
Jadi awal waktu shalat zuhur untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 11.32 WIB.
2.Awal waktu shalat ‘ashar
zm = /φ – δ/
= /-070 28’ – -210 49’ 30’’
= 140 21’ 30’’
h = cotan h = tan zm + 1
= tan 140 21’ 30’’ + 1
h = 380 31’ 35’’
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
= - tan –070 28’ x tan –210 49’ 30’’ + sin 380 31’ 35’’ :
cos –070 28’ : cos –210 49’ 30’’
t = 510 22’ 31’’ : 15 = 03j 25m 30.00d
MP = 11j 47m 29.00d +
= 15j 12m 59.00d (LMT)
s.w.b. = 00j 16m 52.00d -
= 14j 56m 07.00d
ikhtiyat = 00j 01m 53.00d +
= 14j 58m (WIB)
Jadi awal waktu shalat zuhur untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 14.58 WIB.
3.Awal waktu magrib
Dip = 1.76’ √ 90 = 16’ 42’’
h = - (SD + Refraksi + Dip)
- ( 16’ 12’’ + 34’ 30’’ + 16’ 42’’) = -010 07’ 24’’
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
= - tan –070 28’ x tan –210 49’ 30’’ + sin –01o 07’ 24’’ :
cos –070 28’ : cos –210 49’ 30’’
t = 940 13’ 53’’ : 15 = 06 j 16m 56.00d
MP = 11j 47m 29.00d +
= 18 j 04m 25.00d (LMT)
s.w.b. = 00j 16m 52.00d -
= 17j 47m 33.00d
ikhtiyat = 00j 01m 27.00d +
= 17j 49m (WIB)
Jadi awal waktu shalat magrib untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 17.49 WIB.
4.Awal waktu shalat ‘isya’
h = -180
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
= - tan –070 28’ x tan –210 49’ 30’’ + sin –180 :
cos –070 28’ : cos –210 49’ 30’’
t = 1120 50’ 35’’ : 15 = 07j 31m 22.00d
MP = 11j 47m 29.00d +
= 19j 18m 51.00d (LMT)
s.w.b. = 00j 16m 52.00d -
= 19j 01m 59.00d
ikhtiyat = 00j 01m 01.00d +
= 19j 03m (WIB)
Jadi awal waktu shalat ‘isya’ untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 19.03 WIB.
5.Awal waktu shalat subuh
h = -200
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
= - tan –070 28’ x tan –210 49’ 30’’ + sin –200 :
cos –070 28’ : cos –210 49’ 30’’
t = 1150 05’ 29’’ : 15 = 07j 40m 22.00d

MP = 11j 47m 29.00d
t = 07j 40m 22.00d -
= 04j 07m 07.00d (LMT)
s.w.b. = 00j 16m 52.00d -
= 03j 50m 15.00d
ikhtiyat = 00j 01m 45.00d +
= 03j 52m (WIB)
Jadi awal waktu shalat subuh untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 03.52 WIB.

6.Waktu imsak
h = -220
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
= - tan –070 28’ x tan –210 49’ 30’’ + sin –220 :
cos –070 28’ : cos –210 49’ 30’’
t = 1170 21’ 10’’ : 15 = 07 j 49 m 25.00 d

MP = 11 j 47 m 29.00 d
t = 07 j 49 m 25.00 d -
= 03 j 58 m 04.00 d (LMT)
s.w.b. = 00 j 16 m 52.00 d -
= 03 j 41 m 12.00 d
ikhtiyat = 00 j 01 m 12.00 d -
= 03 j 40 m (WIB)

Jadi waktu imsak subuh untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 03.40 WIB.
7.Waktu syuruq
h = -( 16’ 12’’ + 34’ 30’’ + 16’ 42’’) = -010 07’ 24’’
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
= - tan –070 28’ x tan –210 49’ 30’’ + sin –010 07’ 24’’ :
cos –070 28’ : cos –210 49’ 30’’
t = 940 13’ 53’’ : 15 = 06 j 16 m 56.00 d
MP = 11 j 47 m 29.00 d
t = 06 j 16 m 56.00 d -
= 05 j 30 m 33.00 d (LMT)
s.w.b. = 00 j 16 m 52.00 d -
= 05 j 13 m 41.00 d
ikhtiyat = 00 j 01 m 41.00 d -
= 05 j 12 m (WIB)
Jadi awal waktu shalat syuruq untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 05.12 WIB.
8.Awal waktu dhuha
h = 30 30’
t = cos t = - tan φ x tan δ + sin h : cos φ : cos δ
= - tan –070 28’ x tan –210 49’ 30’’ + sin 30 30’ :
cos –070 28’ : cos –210 49’ 30’’
t = 890 12’ 26’’ : 15 = 05 j 56 m 50.00 d
MP = 11 j 47 m 29.00 d
t = 05 j 56 m 49.71 d -
= 05 j 50 m 39.00 d (LMT)
s.w.b. = 00 j 16 m 52.00 d -
= 05 j 33 m 47.00 d
ikhtiyat = 00 j 01 m 13.00 d +
= 05 j 35 m (WIB)
Jadi awal waktu shalat dhuha untuk Purwokerto tanggal 26 Nopember 2005 adalah pukul 05.35 WIB.

diklat 2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Hisab Awal Bulan
Kata-kata hisab yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-hisab. Kata kerja lampau dari kata ini adalah hasiba (hasiba, yahsibu atau yahsabu, husbanan atau mahsabatan). Dalam bahasa Arab, kata al-hisab ini mengandung beberapa pengertian, diantaranya: kumpulan orang banyak (al-jam’u al-kasir), yang mencukupi (al-kafi) dan hitungan atau perhitungan (al-‘addu atau al-muhasabat). Pengertian yang terakhir ini yang banyak diserap dan digunakan dalam bahasa Indonesia apabila menyebutkan kata “hisab” (al-hisab).
Berdasarkan pada pengertian menurut bahasa tersebut maka kata al-hisab menurut istilah, yakni sebagai suatu disiplin ilmu (ilmu al-hisab) diartikan dengan “ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan”. Kata al-hisab dalam pengertian ini, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah arithmatic.
Bila dikaitkan dengan hisab awal bulan berarti melakukan perhitungan untuk menentukan kapan terjadinya tanggal satu setiap bulan, baik dalam kalender Masehi, Hijriyah maupun Jawa Islam.
B. Ruang Lingkup Hisab Awal Bulan
Penganggalan atau tarikh yang membudaya di masyarakat Indonesia dan secara praktis digunakan untuk menentukan peristiwa-peristiwa penting yaitu ada tiga macam: penanggalan atau kalender Masehi, penanggalan atau kalender Hijriyah dan penanggalan atau kalender Jawa-Islam.
Karena ada tiga penanggalan yang hidup di masyarakat Indonesia, maka ruang lingkup hisab awal bulan inipun membahas tiga macam penanggalan tersebut.
Ketiga macam penganggalan ini mempunyai sistem dan cara-cara sendiri di dalam menentukan penanggalan serta mempunyai anggaran-anggaran tersendiri pula.
C. Metode dan Aliran Hisab Awal Bulan
Metode dan aliran hisab awal bulan dapat dikelompokkan menjadi:
1.Hisab urfi
Hisab ini dinamakan hisab urfi karena kegiatan perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional atau kebiasaan yaitu dibuatnya anggaran-anggaran dalam menentukan perhitungan masuknya awal bulan itu. Anggaran yang dipakai didasarkan pada rata-rata bumi mengelilingi matahari untuk kalender Masehi, atau peredaran bulan mengelilingi bumi untuk kalender Hijriyah dan Jawa-Islam.
Hisab urfi mempunyai anggaran yang tetap dan beraturan yaitu untuk bulan Januari 31 hari, Pebruari 28 atau 29 hari, Maret 31 hari, April 30 hari begitu seterusnya (untuk kalender Masehi). Demikian juga Muharram 30 hari, Shafar 29 hari, Rabi’ul awwal 30 hari dan seterusnya secara bergantian, kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 11 kali setiap 30 tahun, bulan Dzulhijjah dihitung 30 hari (untuk kalender Hijriyah). Suro 30 hari, Sapar 29 hari, Mulud 30 hari dan begitu seterusnya secara bergantian, kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 3 kali setiap 8 tahun, bulan Besar dihitung 30 hari (untuk kalender Jawa-Islam).
2.Hisab hakiki
Hisab hakiki ini digunakan dalam penentuan awal bulan dalam kalender Hijriyah. Hisab ini dinamakan hisab hakiki karena penentuan tanggal satu setiap bulannnya didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan kadang-kadang 2 bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, atau kadang-kadang pula bergantian seperti menurut perhitungan hisab urfi.
Dalam praktek perhitungannya, sistem ini mempergunakan data sebenarnya dari gerakan bulan dan bumi serta mempergunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola.
Sistem hisab hakiki dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh syara’ sebab dalam prakteknya sistem ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau wujud. Sehingga sistem hisab inilah yang dipergunakan orang dalam menentukan awal bulan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah.
Hisab hakiki dapat dikelompokkan menjadi:
a.Hisab hakiki taqribi.
Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan tabel Ulugh Beik dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola. Metode koreksinya tidak begitu halus. Demikian juga metode penentuan tinggi hilal sangat sederhana dengan cara membagi dua waktu antara waktu ijtima’ dengan waktu terbenam matahari. Secara fisik metode ini masih mempergunakan ilmu astronomi Ptolomeus yang masih menganut prinsip geosentris yang sudah ditumbangkan oleh Galileo Galilei dan digantikan dengan prinsip heliosentris oleh Copernicus.
Termasuk kelompok ini adalah metode hisab dalam buku Sullamun Nayyirain oleh Muhammad Mansur al-Batawi, Tadzkirotul Ihwan oleh Abu Hamdan al-Samarangi, Fathur Roufil Mannan oleh Abu Hamdan Abdul Jalil bin Abdul Hamid al-Kudsy, Al-Qawaidul Falakiyah oleh Abdul Fattah at-Turky, Asy-Syamsu Wal Qamar oleh Anwar Katsir al-Malangi, Jadawilul Falakiyah oleh Qusyairi al-Pasuruani, Risalatul Qamarain oleh Nawawi Muhammad Yunus al-Kadiri, Syamsul Hilal oleh Noor Ahmad SS al-Jepara, Risalah Falakiyah oleh Ramli Hasan al-Gresiky dan Risalah Hisabiyah oleh Hasan Basri al-Gresiky.
b.Hisab hakiki tahqiqy.
Metode ini dicangkok dari kitab Al-Mathal’us Said Fi Hisabil Kawakib Ala Rasydil Jadid yang bermuara dari sistem astronomi serta matematika modern yang secara asal muasal berasal dari hisab astronom-astronom muslim jaman dulu yang dikembangkan oleh astronom-astronom modern (Barat) berdasarkan penelitian baru. Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem kooordinat ekliptika. Artinya sistem ini mempergunakan tabel-tabel yang sudah dikoreksi dan mempergunakan perhitungan yang relatif lebih rumit daripada kelompok hisab hakiki taqribi serta memakai ilmu ukur segitiga bola.
Termasuk kelompok ini adalah metode hisab dalam buku Al-Mathla’us Said Fi Hisabil Kawakib Ala Rasydil Jadid oleh Syeh Husain Zaid al-Misra, Al-Manahijul Hamidiyah oleh Syeh Abdul Hamid Mursyi al-Syafi’i, Munthaha Nataijul Aqwal oleh Muhammad Hasan Asy’ari al-Pasuruani, Al-Khulashatul Wafiyah oleh Zubair Umar Jaelany Salatiga, Badi’atul Mitsal oleh Muhammad Ma’shum bin Ali al-Jombangy, Hisab Hakiki oleh Wardan Diponingrat Yogyakarta, Nurul Anwar oleh Noor Ahmad SS Jepara dan Ittafaqu Dzatil Bain oleh Muhammad Zubaer Abdul Salam Gresik.
c.Metode hisab hakiki kontemporer.
Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab hakiki tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi. Rumus-rumusnya lebih disederhanakan sehingga untuk menghitungnya dapat digunakan kalkulator atau komputer.
Termasuk kelompok ini adalah metode hisab yang dipakai dalam New Comb oleh Bidron Hadi yogyakarta, Almanak Nautika yang dikeluarkan oleh TNI AL Jakarta, Astronomical Tables of Sun, Moon and Planets oleh Jean Meeus Belgia, Islamic Calender oleh Muhammad Ilyas Malasyia dan Ehemersi Hisab dan Rukyat oleh Badan Hisab Rukyah Departemen Agama RI.
Disamping terbagi menjadi beberapa metode di atas, hisab hakiki juga terbagi menjadi beberapa aliran dalam menentukan masuknya awal bulan yaitu:
a. Aliran yang berpedoman kepada ijtima’ qablal ghurub.
Aliran ini menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam harinya sudah dianggap bulan baru, sedang jika ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung.
Sistem ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat. Juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtima’, walaupun hilal masih di bawah ufuk, maka malam hari itu berarti sudah termasuk bulan baru.
Sistem ini lebih menitikberatkan kepada penggunaan astronomi murni. Dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan konjungsi (ijtima’). Sistem ini menghubungkan ijtima’ dengan saat terbenam matahari, sebab mempunyai anggapan bahwa hari menurut Islam adalah dimulai dari terbenam matahari sampai terbenam matahari berikutnya. Malam mendahului siang.
Jadi logikanya menurut sistem ini, bahwa ijtima’ adalah pemisah diantara dua bulan Qamariyah, namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka kalau ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian dari bulan yang sedang berlangsung.
b.Aliran yang berpedoman kepada ijtima’ qablal fajri.
Seperti apa yang disinyalir oleh beberapa ahli bahwa akhir-akhir ini timbul suatu pendapat baru yang menghendaki permulaan bulan Qamariyah ditentukan oleh kejadian ijtima’ sebelum terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ijtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian matahari terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa batas hari adalah saat matahari terbenam.
Menurut sistem ini, jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan baru, walaupun pada saat matahari terbenam pada malam itu belum terjadi ijtima’.
Jika kita perhatikan, pendapat ini semata-mata berpegang pada astronomi murni dan menentukan saat terbitnya fajar sebagai permulaan hari. Pendapat ini mengambil pengertian dari perintah dimulainya berpuasa secara harian. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”.
c. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hakiki
Menurut aliran ini untuk masuknya tanggal satu bulan Qamariyah, posisi hilal harus sudah berada di atas ufuk hakiki. Dimaksud dengan ufuk hakiki, adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau.
Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi tempat si peninjau. Demikian pula jari-jari bulan, parallaks dan refraksi tidak turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan posisi bulan tidak untuk dilihat. Lain halnya dengan perhitungan matahari terbenam, aliran ini memperhitungkan unsur-unsur di atas, sebab mereka mempergunakan pengertian terbenam matahari seperti apa yang dilihat atau menurut istilah mar’i.
Ringkasnya, sistem ini berpendapat bahwa jika setelah terjadi ijtima’, hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki pada saat terbenam matahari, maka malamnya sudah dianggap buln baru, sebaliknya jika pada saat terbenam matahari hilal masih berada dibawah ufuk hakiki maka malam itu belum dianggap sebagi bulan baru.
d. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hissi.
Aliran ini berpendapat, jika pada saat matahari terbenam setelah ijtima’, hilal sudah wujud di atas ufuk hissi, maka malam itu sudah termasuk tanggal satu bulan baru. Dimaksud dengan ufuk hissi adalah bidang datar yang melalui mata si peninjau dan sejajar dengan ufuk hakiki. Aliran yang berpegang pada ufuk hissi menentukan ketinggian hilal diukur dari atas permukaan bumi sedangkan yang berpegang kepada ufuk hakiki mengukur ketinggian itu dari titik pusat bumi.
Sistem yang berpedoman pada ufuk hissi ini nampaknya kurang populer sehingga banyak para ahli yang mengabaikan perhitungan ini. Namun jika kita lihat keputusan seminar hisab yang diadakan di Yogyakarta tahun 1970, sistem ini termasuk salah satu sistem yang diakui eksistensinya, sekalipun lebih jauh tidak disebutkan siapa-siapa saja yang berpegang kepada sistem ufuk hissi ini.
e. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk mar’i.
Sistem ini pada dasarnya sama seperti sistem hisab yang berpedoman kepada ufuk hakiki dan hissi, yaitu memperhitungkan posisi hilal pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’. Hanya saja sistem ini tidak cukup sampai di sana. Setelah diperoleh nilai ketinggian hilal dari ufuk hakiki kemudian ditambahkan koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu. Koreksi-koreksi tersebut adalah kerendahan ufuk, refraksi, semi diameter (jari-jari) dan parallaks (beda lihat).
f. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat di rukyah (imkanur rukyah).
Untuk menetapkan masuknya awal bulan baru, aliran ini mengemukakan, bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima’, hilal harus mempunyai posisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dilakukan rukyat bil fi’li. Ada yang mengatakan 80, 70, 60, 50, dan lain sebagainya.
Disamping ukuran ketinggian sebagai syarat untuk dapat terlihatnya hilal, adapula yang menentukan unsur lainnya. Dalam konferensi internasional tentang penentuan awal bulan Qamariyah yang diadakan di Turki tahun 1978 dinyatakan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas tidak kurang dari 50 dan sudut pandang (angular distance) antara hilal dan matahari tidak kurang dari 80.
BAB II
HISAB URFI AWAL BULAN
A.Penanggalan Masehi
Penanggalan Masehi atau Miladi diciptakan dan diproklamirkan penggunaannya oleh Numa Pompilus pada tahun berdirinya kerajaan Roma tahun 753 SM. Penanggalan ini berdasarkan pada perubahan musim sebagai akibat peredaran semu matahari, dengan menetapkan panjang satu tahun berumur 366 hari. Bulan pertamanya adalah Maret, karena posisi matahari berada di titik Aries itu terjadi pada bulan Maret.
Kemudian pada tahun 46 SM, menurut penanggalan Numa sudah bulan Juni, tetapi posisi matahari sebenarnya baru pada bulan Maret sehingga oleh Yulius Caesar, penguasa Romawi, atas saran dari ahli astronomi Iskandaria yang bernama Sosigenes diperintahkan agar penanggalan Numa tersebut diubah dan disesuaikan dengan posisi matahari yang sebenarnya, yaitu dengan memotong penanggalan yang sedang berjalan sebanyak 90 hari dan menetapkan pedoman baru bahwa satu tahun itu ada 365.25 hari. Bilangan tahun yang tidak habis dibagi empat sebagai tahun pendek (Basithah) berumur 365 hari, sedangkan bilangan tahun yang habis dibagi empat adalah tahun panjang (Kabisat) berumur 366 hari. Selisih satu hari ini diberikan pada urutan bulan yang terakhir (waktu itu), yakni bulan Pebruari. Penanggalan hasil koreksian ini kemudian dikenal dengan Kalender Yulias atau Kalender Yulian.
Baru kemudian pada waktu Dewan Gereja bersidang yang pertama kalinya pada bulan Januari, maka mulai saat itu bulan Januari ditetapkan sebagai bulan yang pertama dan bulan yang terakhir adalah Desember. Sistem ini dikenal dengan nama sistem Yustinian.
Meskipun sudah diadakan koreksi dan perubahan, namun ternyata kalender Yulian masih lebih panjang 11 menit 14 detik dari titik musim yang sebenarnya, sehingga sebagai akibatnya kalender itu harus mundur 3 hari setiap 400 tahun.
Pada tahun 1582 ada hal yang menarik perhatian, yaitu saat penentuan wafat Isa al-Masih, yang diyakini oleh orang-orang Masehi bahwa peristiwa itu jatuh pada hari Minggu setelah bulan purnama yang selalu terjadi segera setelah matahari di titik Aries (tanggal 21 Maret). Tetapi pada waktu itu mereka memperingatinya tidak lagi pada hari Minggu setelah bulan purnama setelah matahari di titik Aries, namun sudah beberapa hari berlalu.
Hal demikian ini mengetuk hati Paus Gregorius XIII untuk mengadakan koreksi terhadap sistem penanggalan Yustinian yang sudah berlaku agar sesuai dengan posisi matahari yang sebenarnya.
Atas saran Klafius (ahli perbintangan), pada tanggal 4 Oktober 1582 Paus Gregorius XIII memerintahkan agar keesokan harinya tidak dibaca 5 Oktober 1582, melainkan dibaca 15 Oktober 1582 dan ditetapkan bahwa peredaran matahari dalam satu tahun itu 365.2425 hari, sehingga ada ketentuan baru, yaitu angka tahun yang tidak habis dibagi 400 atau angka abad yang tidak habis dibagi 4 adalah tahun Basithah (365 hari). Serta ditetapkan bahwa tahun kelahiran Isa al-Masih dijadikan sebagai tahun pertama.
Dengan demikian setiap 4 tahun merupakan satu siklus (1461 hari). Sistem penanggalan ini dikenal dengan Sistem Gregorian. Sistem Gregorian inilah yang berlaku sampai sekarang ini.
Setiap tahun ada 12 bulan, yaitu Januari, Pebruari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember. Bulan ke 1, 3, 5, 7, 8, 10 dan 12 masing-masing berumur 31 hari, sedang lainnya berumur 30 hari, kecuali bulan ke 2 (Pebruari) berumur 28 hari pada tahun Basithah (pendek) dan berumur 29 hari pada tahun Kabisat (panjang).

1. Ketentuan Umum
1 tahun Masehi = 365 hari (Basithah), Pebuari = 28 hari atau 366 hari (Kabisat), Pebuari = 29 hari.
Tahun Kabisat adalah bilangan tahun yang habis dibagi 4 (mis. 1992, 1996, 2000, 2004), kecuali bilangan abad yang tidak habis dibagi 4 (mis. 1700, 1800, 1900, 2100 dst), selain itu adalah Basithah.
1 siklus = 4 tahun (1461 hari)
Penyesuaian akibat anggaran Gregorius sebanyak 10 hari sejak 15 Oktober 1582 SM, serta penambahan 1 hari pada setiap bilangan abad yang tidak habis dibagi 4 sejak tanggal tersebut, sehingga sejak tahun 1900 sampai 2099 ada penambahan koreksi 13 hari (10+3).
2. Menghitung Hari dan Pasaran
Menghitung hari dan pasaran pada tanggal 1 (satu) Januari suatu tahun dengan cara:
Tentukan tahun yang akan dihitung.
Hitung tahun tam, yakni tahun ybs dikurangi satu.
Hitung berapa siklus selama tahun tam tersebut, yakni (tahun tam : 4).
Hitung berapa tahun kelebihan dari sejumlah siklus tsb.
Hitung berapa hari selama siklus yang ada, yakni siklus x 1461 hari.
Hitung berapa hari selama satu tahun kelebihan tsb, yakni kelebihan tahun x 365 hari atau
1 tahun = 365 hari 3 tahun = 1095 hari
2 tahun = 730 hari 4 tahun = 1461 hari
Jumlahkan hari-hari tsb dan tambahkan 1 (tanggal 1 Januari).
Kurangi dengan koreksi Gregorian, yakni 10+ .... hari.
Jumlah hari kemudian dibagi 7 (tujuh), selebihnya dihitung mulai hari Sabtu atau
1 = Sabtu 3 = Senin 5 = Rabu 7 = Jum’at
2 = Ahad 4 = Selasa 6 = Kamis 0 = Jum’at
Jumlah hari kemudian dibagi 5 (lima), selebihnya dihitung mulai pasaran Kliwon atau
1 = Kliwon 3 = Pahing 5 = Wage
2 = Legi 4 = Pon 0 = Wage
Contoh:
Tanggal 1 Januari 2006 M
Waktu yang dilalui = 2005 tahun, lebih 1 hari atau 2005 : 4 = 501 siklus, lebih 1 tahun, lebih 1 hari.
501 siklus = 501 x 1461 hari = 731.961 hari
1 tahun = 1 x 365 hari = 365 hari
1 hari = 1 hari +
Jumlah = 732.327 hari
Koreksi Gregorius = 10 + 3 = 13 hari -
732.314 hari
732.314: 7 = 104616, lebih 2 = Minggu, (dihitung mulai Sabtu)
732.314: 5 = 146462, lebih 4 = Pon, (dihitung mulai Kliwon)
Jadi tanggal 1 Januari 2006 jatuh pada Minggu Pon.
3. Pembuatan Kalender
Setelah hari dan pasaran pada tanggal 1 Januari pada suatu tahun sudah diketahui, maka untuk menentukan hari dan pasaran pada tanggal 1 bulan-bulan berikutnya, dapat digunakan jadwal berikut ini, tetapi harus diketahui tahun yang dikehendaki itu Kabisat (panjang) ataukah Basithah (pendek).
JADWAL HARI (HR) DAN PASARAN (PS) TAHUN MASEHI
No
Bulan
Basithah
Kabisat


Hr
Ps
Hr
Ps
1
Januari
1
1
1
1
2
Pebruari
4
2
4
2
3
Maret
4
5
5
1
4
April
7
1
1
2
5
Mei
2
1
3
2
6
Juni
5
2
6
3
7
Juli
7
2
1
3
8
Agustus
3
3
4
4
9
September
6
4
7
5
10
Oktober
1
4
2
5
11
Nopember
4
5
5
1
12
Desember
6
5
7
1
Catatan : Hari dan pasaran apa saja pada tanggal 1 Januari tahun berapa saja nilainya adalah 1 (satu), sehingga untuk bulan-bulan berikutnya, hari dan pasarannya tinggal mengurutkan hari dan pasaran yang keberapa dari tanggal 1 Januari itu sesuai dengan angka yang ada pada jadwal (Hr dan Ps) di atas.
PENANGGALAN TAHUN 2006
No
Tanggal
Hari
Pasaran
1
1 Januari
1
Minggu
1
Pon
2
1 Pebruari
4
Rabu
2
Wage
3
1 Maret
4
Rabu
5
Pahing
4
1 April
7
Sabtu
1
Pon
5
1 Mei
2
Senin
1
Pon
6
1 Juni
5
Kamis
2
Wage
7
1 Juli
7
Sabtu
2
Wage
8
1 Agustus
3
Selasa
3
Kliwon
9
1 September
6
Jumat
4
Legi
10
1 Oktober
1
Minggu
4
Legi
11
1 Nopember
4
Rabu
5
Pahing
12
1 desember
6
Jumat
5
Pahing
4. Menghitung Tanggal
Untuk mengetahui hari dan pasaran suatu tanggal tertentu maka hari dan pasaran tanggal 1 bulan ybs bernilai satu, sehingga tinggal menambahkan sampai tanggal yang dikehendaki.
Misalnya tanggal 5 Oktober 2006, karena tanggal 1 Oktober 2006 jatuh pada hari Minggu Legi, maka tanggal 5 Oktober 2006 jatuh pada hari Kamis Kliwon, yakni 5 hari dihitung dari Minggu sehingga jatuh hari Kamis, dan 5 hari dihitung dari Legi sehingga jatuh pasaran Kliwon.
Kecuali cara di atas, dapat pula dihitung secara langsung, yakni seperti cara menghitung tanggal 1 Januari di atas, tetapi harus ditambah jumlah hari sejak tanggal 1 Januari sampai tanggal ybs.

DAFTAR UMUR DAN JUMLAH HARI
No
Bulan
Umur
Jumlah hari



Basithah
Kabisat
1
Januari
31
31
31
2
Pebruari
28/29
59
60
3
Maret
31
90
91
4
April
30
120
121
5
Mei
31
151
152
6
Juni
30
181
182
7
Juli
31
212
213
8
Agustus
31
243
244
9
September
30
273
274
10
Oktober
31
304
305
11
Nopember
30
334
335
12
Desember
31
365
366
Contoh :
Tanggal 5 Oktober 2006 M (5-10-2006 M)
Waktu yang dilalui = 2005 tahun, lebih 9 bulan, lebih 5 hari atau 2005 : 4 = 501 siklus, lebih 1 tahun, lebih 9 bulan, lebih 5 hari.
501 siklus = 501 x 1461 hari = 731.961 hari
1 tahun = 1 x 365 hari = 365 hari
9 bulan = 273 hari
5 hari = 5 hari +
Jumlah = 732.604 hari
Koreksi Gregorius = 10 + 3 = 13 hari -
732.591 hari
732.591: 7 = 104655, lebih 6 = Kamis, (mulai Sabtu)
732.591: 5 = 146518, lebih 1 = Kliwon, (mulai Kliwon)
Jadi tanggal 5 Oktober 2006 jatuh pada hari Kamis Kliwon.
b.Penanggalan Hijriyah
Penanggalan Hijriyah ini dimulai sejak Umar bin Khaththab 2.5 tahun diangkat sebagai khalifah, yaitu sejak terdapat persoalan yang menyangkut sebuah dokumen yang terjadi pada bulan Sya’ban. Muncullah pertanyaaan bulan Sya’ban yang mana? Oleh sebab itu Umar bin Khathtab memanggil beberapa orang sahabat terkemuka guna membahas persoalan tersebut. Agar persoalan semacam itu tidak terulang lagi maka diciptakanlah penanggalan Hijriyah. Atas usul Ali bin Abi Thalib maka penanggalan Hijriyah dihitung mulai tahun yang didalamnya terjadi Hijriyah Nabi Muhammad SAW dari Makah ke Madinah. Dengan demikian penanggalan Hijriyah itu diberlakukan mundur sebanyak 17 tahun.
Tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyah ada yang berpendapat jatuh pada hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M. Penetapan ini kalau berdasarkan pada hisab, sebab irtifa’ hilal pada hari Rabu 14 Juli 622 M sewaktu matahari terbenam sudah mencapai 5 derajat 57 menit. Pendapat lain mengatakan 1 Muharram 1 Hijriyah jatuh pada haru Jum’at tanggal 16 Juli 622 M. Ini apabila permulaan bulan didasarkan pada rukyah, karena sekalipun posisi hilal pada menjelang 1 Muharram 1 Hijriyah sudah cukup tinggi, namun waktu itu tidak satupun didapati laporan hasil rukyah.
Satu tahun ada 12 bulan, yaitu Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Akhirah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.
Penanggalan Hijriyah ini berdasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Satu kali edar lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik. Untuk menghindari adanya pecahan hari maka ditentukan bahwa umur bulan ada yang 30 hari dan adapula yang 29 hari, yaitu untuk bulan-bulan ganjil berumur 30 hari, sedang bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali pada bulan ke 12 (Dzulhijjah) pada tahun Kabisat berumur 30 hari.
Setiap 30 tahun terdapat 11 tahun Kabisat (panjang = berumur 355 hari) dan 19 tahun Basithah (pendek = berumur 354 hari).
Tahun-tahun Kabisat jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, 29, Sedangkan selain urutan tersebut merupakan tahun Basithah.
1. Ketentuan umum
1 tahun Hijriyah = 354 hari (Basithah), Dzulhijjah = 29 hari = 355 hari (Kabisat), Dzulhijjah = 30 hari.
Tahun-tahun Kabisat jatuh pada urutan tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29 (tiap 30 tahun)
@ daur = 30 tahun = 10631 hari.
2. Menghitung hari dan pasaran
Menghitung hari dan pasaran pada tanggal 1 (satu) Muharram suatu tahun dengan cara:
Tentukan tahun yang akan dihitung.
Hitung tahun tam, yakni tahun ybs dikurangi satu.
Hitung berapa daur selama tahun tam tersebut, yakni (tahun tam : 30).
Hitung berapa tahun kelebihan dari sejumlah daur tersebut.
Hitung berapa hari selama daur yang ada, yakni daur x 10631 hari).
Hitung berapa hari selama tahun kelebihan (lihat daftar jumlah hari tahun Hijriyah).
Jumlahkan hari-hari tersebut dan tambahkan 1 (tanggal 1 Muharram)
Jumlah hari kemudian dibagi 7 (tujuh), selebihnya adalah :
1 = Jum’at 3 = Ahad 5 = Selasa 7 = Kamis
2 = Sabtu 4 = Senin 6 = Rabu 0 = Kamis
Jumlah hari kemudian dibagi 5 (lima), selebihnya adalah :
1 = Legi 3 = Pon 5 = Kliwon
2 = Pahing 4 =Wage 0 = Kliwon
JUMLAH HARI TAHUN HIJRIYAH
Tahun
Hari
Tahun
Hari
Tahun
Hari
1
354
11
3898
21
7442
2
709
12
4252
22
7796
3
1063
13
4607
23
8150
4
1417
14
4961
24
8505
5
1772
15
5316
25
8859
6
2126
16
5670
26
9214
7
2481
17
6024
27
9568
8
2835
18
6379
28
9922
9
3189
19
6733
29
10277
10
3544
20
7087
30
10631


Contoh :
Tanggal 1 Muharram 1427 H
Waktu yang dilalui 1426 tahun, lebih 1 hari atau (1426:30) = 47 daur, lebih 16 tahun, lebih 1 hari.
47 daur = 47 x 10.631 hari = 499.657 hari
16 tahun = (16x354) + 6 hari = 5.670 hari
1 hari = 1 hari +
Jumlah = 505.328 hari
505.328: 7 = 72189, lebih 5 = Selasa (mulai Jum’at)
505.328: 5 = 101065, lebih 3 = Pon, (mulai Legi)
Jadi tanggal 1 Muharram 1427 H jatuh hari Selasa Pon.
3. Membuat Kalender
Setelah hari dan pasaran pada tanggl 1 Muharram pada suatu tahun telah diketahui dengan cara di atas, maka untuk mengetahui hari dan pasaran pada tanggal 1 tiap-tiap bulan berikutnya:
PEDOMAN HARI DAN PASARAN
Bulan
Hari
Pasaran
Umur
Bulan
Hari
Pasaran
Umur
Muharram
1
1
30
Rajab
3
3
30
Shafar
3
1
29
Sya’ban
5
3
29
Rabi’ul awal
4
5
30
Ramadhan
6
2
30
Rabi’ul akhir
6
5
29
Syawal
1
2
29
Jumadil ula
7
4
30
Dzulqa’dah
2
1
30
Jumadil akhirah
2
4
29
Dzulhijjah
4
1
29/30
Catatan : Hari dan pasaran apa saja pada tanggal 1 Muharram tahun berapa saja nilainya adalah 1 (satu), sehingga untuk bulan-bulan berikutnya, hari dan pasarannya tinggal mengurutkan hari yang keberapa dari tanggal 1 Muharram itu sesuai dengan angka yang ada pada jadwal (Hr dan Ps) di atas.
PENGANGGALAN TAHUN 1427 H
No
Bulan
Hari
Pasaran
1
Muharram
1
Selasa
1
Pon
2
Shafar
3
Kamis
1
Pon
3
Rabi’ul awal
4
Jumat
5
Pahing
4
Rabi’ul akhir
6
Minggu
5
Pahing
5
Jumadil ula
7
Senin
4
Legi
6
Jumadil akhirah
2
Rabu
4
Legi
7
Rajab
3
Kamis
3
Kliwon
8
Sya’ban
5
Sabtu
3
Kliwon
9
Ramadhan
6
Minggu
2
Wage
10
Syawal
1
Selasa
2
Wage
11
Dzulqa’dah
2
Rabu
1
Pon
12
Dzulhijjah
4
Jumat
1
Pon
4. Menghitung Hari
Untuk mengetahui hari dan pasaran suatu tanggal tertentu maka hari dan pasaran tanggal 1 bulan ybs bernilai satu, sehingga tinggal menambahkan sampai tanggal yang dikehendaki.
Misalnya tanggal 17 Ramadhan 1427 H, karena tanggal 1 Ramadhan 1427 H jatuh pada hari Minggu Wage, maka tanggal 17 Ramadhan 1427 H jatuh pada hari Selasa Kliwon, yakni 17 hari dihitung dari Minggu sehingga jatuh hari Selasa, dan 17 hari dihitung dari Wage sehingga jatuh pada pasaran Kliwon.
Kecuali di atas, dapat pula dihitung secara langsung, yakni seperti cara menghitung tanggal 1 Muharram di atas, tetapi harus ditambah jumlah hari sejak tanggal 1 Muharram sampai tanggal ybs.
DAFTAR UMUR DAN JUMLAH HARI
BULAN-BULAN HIJRIYAH DAN JAWA
No
Bulan Hijriyah
Umur
Jumlah Hari
Bulan Jawa
1
Muharram
30
30
Suro
2
Shafar
29
59
Sapar
3
Rabi’ul awal
30
89
Mulud
4
Rabi’ul akhir
29
118
Bakdomulud
5
Jumadil ula
30
148
Jumadilawal
6
Jumadil akhirah
29
177
Jumadilakir
7
Rajab
30
207
Rejeb
8
Sya’ban
29
236
Ruwah
9
Ramadhan
30
266
Poso
10
Syawal
29
295
Selo
11
Dzulqa’dah
30
325
Dulkangidah
12
Dzulhijjah
29/30
354/355
Besar
Contoh:
Tanggal 17 Ramadhan 1427 H (17-09-1427 H)
Waktu yang dilalui = 1426 tahun, lebih 8 bulan, lebih 17 hari atau (1426:30) = 47 daur, lebih 16 tahun, lebih 8 bulan, lebih 17 hari.
47 daur = 47 x 10.631 hari = 499.657 hari
16 tahun = (16x354) + 6 hari = 5.670 hari
8 bulan = (8x29) + 4 hari = 236 hari
17 hari = 17 hari +
Jumlah = 505.580 hari
505.580: 7 = 72225, lebih 5 = Selasa (mulai Jum’at)
505.580: 5 = 101116, lebih 0 = Kliwon, (mulai Legi)
Jadi tanggal 17 Ramadhan 1425 H jatuh hari Selasa Kliwon.
Perhatian :
Perhitungan penanggalan Hijriyah seperti atas dikenal dengan Hisab ‘Urfi, karena setiap bulan-bulan ganjil berumur 30 hari dan bulan-bulan genap berumur 29 hari kecuali bulan ke 12 (Dzulhijjah) pada tahun Kabisat berumur 30 hari.
Hasil perhitungan penanggalan hisab ‘urfi kadang berbeda dengan hasil hakiki dan kadang berbeda pula dengan penampakan bulan (hilal), sehingga hasil penanggalan ‘urfi ini tidak boleh dijadikan dasar pelaksanaan ibadah, khususnya puasa Ramadhan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha.
Untuk pembuatan kalender Hijriyah hendaknya mengunakan hisab hakiki, yakni dengan memperhitungkan waktu ijtima’ dan posisi hilal.
C.Penanggalan Jawa Islam
Di Pulau Jawa khususnya, pernah berlaku sistem penanggalan Hindu, yang dikenal dengan penanggalan “Soko”, yakni sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran matahari mengelilingi bumi. Permulaan tahun Soko ini ialah hari Sabtu (14 Maret 78 M), yaitu satu tahun setelah penobatan Prabu Syaliwahono (Aji Soko) sebagai raja di India. Oleh sebab itulah penanggalan ini dikenal dengan penanggalan Soko. Disamping penanggalan Soko, di tanah air berlaku pula sistem penanggalan Islam (Hijriyah) yang perhitungannya berdasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi.
Kemudian pada tahun 1633 M yang bertepatan tahun 1043 H atau 1555 Soko, oleh Sri Sultan Muhammad yang terkenal dengan nama Sultan Agung Anyokrokusumo yang bertahta di kerajaan Mataram, kedua sistem penanggalan tersebut dipertemukan, yaitu tahunnya mengambul tahun Soko, yakni meneruskan tahun Soko (tahun 1955), tetapi sistemnya mengambil tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran mengelilingi bumi. Oleh karena itu, sistem ini dikenal pulan dengan sistem Penanggalan Jawa Islam.
Dalam satu tahun terdapat 12 bulan, yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakdomulud, Jumadilawal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah (Selo), dan Besar. Bulan-bulan ganjil berumur 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali bulan ke 12 (besar) berumur 30 hari pada tahun panjang.
Satu tahun berumut 354.375 hari (354 3/8 hari), sehingga daur (siklus) penanggalan Jawa Islam ini selama 8 tahun (1 windu). Dengan ditetapkan bahwa pada urutan tahun ke 2, 5 dan 8 merupakan tahun panjang (Wuntu = 355 hari), sedangkan lainnya merupakan tahun pendek (Wastu = 354 hari).
Tahun-tahun dalam satu windu (8 tahun) diberi nama dengan angka huruf jumali berdasarkan nama hari pada tanggal satu Suro tahun ybs dihitung dari nama hari tanggal 1 Suro Alipnya.
Nama-nama tahun dimaksud adalah :
1.Tahun pertama = Alip
2.Tahun kedua = Ehe
3.Tahun ketiga = Jim Awal
4.Tahun keempat = Ze
5.Tahun kelima = Dal
6.Tahun keenam = Be
7.Tahun ketujuh = Wawu
8.Tahun kedelapan = Jim akhir
Permulaan penanggalan Jawa Islam ini (tahun 1555 J) hingga permulaan tahun 1626 J. Tanggal 1 Suro tahun alipnya jatuh pada hari Jum’at Legi (Aahgi = tahun Alip Jum’at Legi).
Menurut sistem ini bahwa satu tahun itu berumur 354.375 hari, maka dalam waktu 120 hari sistem ini akan melonjak 1 hari bila dibandingkan dengan sistem Hirjriyah. Oleh karena itu setiap 120 tahun ada pengurangan 1, yaitu yang semestinya tahun panjang dijadikan tahun pendek.
Atas dasar itu maka sejak tahun 1627 J hingga 1746 J tahun Alipnya adalah hari Kamis Kliwon (Amiswon = tahun Alip Kamis Kliwon). Sejak 1747 J hingga 1866 J tahun Alipnya jatuh hari Rebo Wage (Aboge = tahun Rebo Wage); dan sejak tahun 1867 J hingga 1986 J tahun Alipnya jatuh pada hari Seloso Pon (Asapon = tahun Alip Selasa Pon). Demikian pula tahun 1987 J hingga 2106 J tahun Alipnya jatuh pada hari Senin Pahing (Anenhing = tahun Alip Senin Pahing).
Dengan demikian dapatlah ditentukan bahwa :
1.Tahun Jawa Islam = tahun Hijriyah + 512.
2.Satu windu = 8 tahun = 2.385 hari.
3.Tahun panjang (Wuntu) jatuh pada urutan ke 2, 5 dan 8.
4.Selisih 1 Suro 1555 J dengan 1 Muharram 1 H = 369.251 hari.
5.Selisih 1 Suro 1555 J dengan 1 Januari 1 M = 596.267 hari.
6.Tahun 1555-1626 J adalah Aahghi (tahun Alip Jum’ah Legi).
7.Tahun 1627-2746 J adalah Amiswon (tahun Alip Kamis Kliwon).
8.Tahun 1747-1866 J adalah Aboge (tahun Alip Rebo Wage).
9.Tahun 1867-1986 J adalah Asapon (tahun Alip Selasa Pon).
10.Tahun 1987-2106 J adalah Anenhing (tahun Alip Senin Pahing).
Untuk mengetahui nama tahun serta nama hari dan pasaran pada tanggal 1 Suro tahun tertentu, maka dapat diketahui dengan cara tahun ybs dikurangi 1554 kemudian dibagi 8. Sisanya dicocokkan pada jadwal berikut ini:
JADWAL TAHUN JAWA
Sisa
Nama Tahun
Hari
Pasaran
1
Alip
1
1
2
Ehe
5
5
3
Jim awal
3
5
4
Ze
7
4
5
Dal
4
3
6
Be
2
3
7
Wawu
6
2
0
Jim akhir
3
1
Keterangan:
Nama tahun ditunjukkan oleh nama tahun sesuai sisa pembagian 8 di atas. Sedang nama hari dan pasaran untuk tanggal 1 Suro tahun ybs ditunjukkan oleh angka pada kolom Hr (hari) dan Ps (pasaran) yang dhitung mulai dari hari dan pasaran pada tahun alipnya.
Contoh:
Menghitung tanggal 1 Suro 1939 J.
1939
1554 -
385 : 8 = 48 sisa 1
Sisa 1 (lihat jadwal di atas) nama tahunnya adalah Alip. Sedang harinya adalah pada urutan 1 dan pasarannya pada urutan 1. Tahun 1939 termasuk dalam kelompok Asopon (tahun Alip Seloso Pon), sehingga tangga 1 Suro 1939 J jatuh urutan ke 1 dihitung dari hari Seloso, yakni “Seloso”, serta pasarannya pada urutan ke 1 dihitung mulai Pon, yaitu “Pon”.
Dengan demikian, tahun 1939 J adalah tahun Alip yang tanggal 1 Suro-nya jatuh pada hari Seloso Pon.
Setelah hari dan pasaran pada tanggal 1 Suro pada suatu tahun telah diketahui, maka untuk mengetahui hari dan pasaran pada tanggal 1 tiap-tiap bulan berikutnya dapat digunakan pedoman (jadwal) sebagai berikut:
JADWAL PENGANGGALAN JAWA
Bulan
Hari
Pasaran
Bulan
Hari
Pasaran
Suro
1
1
Rejeb
3
3
Sapar
3
1
Ruwah
5
3
Mulud
4
5
Poso
6
2
Bakdomulud
6
5
Selo
1
2
Jumadilawal
7
4
Dulkangidah
2
1
Jumadilakir
2
4
Besar
4
1
Keterangan :
Hari dan pasaran apa saja pada tanggal 1 Suro tahun berapa saja nilainya adalah 1 (satu), sehingga untuk tanggal 1 bulan-bulan berikutnya, hari dan pasarannya tinggal mengurutkan hari dan pasaran yang keberapa dari tanggal 1 Suro itu sesuai dengan angka yang ada pada jadwal tersebut.
BAB III
PERBANDINGAN TARIKH
A. Pengertian Perbandingan Tarikh
Dimaksud dengan perbandingan tarikh adalah perbandingan penanggalan antara dua atau lebih sistem kalender. Perbandingan tarikh ini merupakan metode untuk mengetahui konversi tanggal termasuk bulan dan tahun antara satu sistem kalender tertentu dengan sistem kalender lainnya. Dengan kata lain, jika suatu tanggal menurut suatu sistem kalender terntentu sudah diketahui, maka dengan metode perbandingan tarikh ini dapat diketahui persamaan tanggal itu dengan tanggal-tanggal menurut sistem kalender yang lain.
Perbandingan tarikh menyajikan cara-cara atau metode-metode untuk melakukan pemindahan dari suatu tanggal tertentu menurut suatu sistem kalender tertentu menjadi tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender yang lain. Sebagai contoh misalnya diketahui hari Proklamasi Kemerdekan RI tanggal 17 Agustus 1945 M., kemudian ingin dicari bertepatan dengan tanggal, bulan dan tahun berapa hari Proklamasi Kemerdekaan RI itu menurut sistem kalender Hijriyah atau menurut sistem kalender Jawa-Islam. Persoalan yang demikian ini dapat diselesaikan dengan menggunakan metode perbandingan tarikh.
Bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, perbandingan tarikh ini penting artinya, sebab sistem kalender yang berlaku secara nasional (resmi) di Indonesia adalah sistem kalender Masehi (miladiyah/syamsiyah), sementara peristiwa-peristiwa sejarah yang harus diperingati oleh umat beragama, atau waktu-waktu pelaksanaan ibadah yang harus dilaksanakan oleh umat beragama di Indonesia didasarkan pada hari, tanggal, bulan dan tahun menururt sistem kalender lain yang berbeda dengan sistem kalender Masehi. Misalnya peristiwa hijrahnya Nabi saw dari Mekkah ke Madinah didasarkan pada sistem kalender Hijriyah, yaitu tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyah. Untuk mengetahui tanggal, bulan dan tahun berapa menurut sistem kalender Masehi diperlukan metode atau cara, yaitu perbandingan tarikh. Contoh lain, pelaksanaan ibadah shalat idul fitri dilaksanakan pada tanggal 1 bulan Syawal. Untuk mengetahui tanggal, bulan dan tahun berapa menurut sistem kalender Masehi diperlukan metode atau cara yaitu perbandingan tarikh. Demikian pula halnya dengan penentuan hari-hari libur nasional yang dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa keagamaan.
Dalam perhitungan atau hisab awal bulan Qamariyah yang berlaku di Indonesia khusunya, biasanya diperhitungkan kapan tanggal satu untuk setiap bulan Qamariyah itu terjadi. Untuk menjawabnya tidak cukup hanya dengan disebutkan harinya saja tetapi biasanya sekaligus dengan tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender Masehi. Dengan kata lain, secara otomatis ditentukan konversinya dengan penanggalan Masehi. Hal ini memang harus dilakukan, sebab kalau hanya ditentukan harinya saja bisa terjadi kekeliruan karena hari itu berulang-ulang, sehingga menjadi sulit untuk menentukan hari yang mana. Misalnya tanggal 1 Muharram 1427 H. jatuh pada hari selasa. Kalau kenyataannya hanya seperti itu maka akan timbul masalah yaitu hari selasa yang kapan sebab hari selasa itu selalu berulang-ulang selang tujuh hari sekali. Untuk itulah biasanya disamping penentuan hari, ditentukan pula tanggal, bulan dan tahun menurut penganggalan Masehi. Misalnya, tanggal 1 Muharram 1427 H. jatuh pada hari selasa bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006 M.
Konversi tanggal, bulan dan tahun Hijriyah dengan sistem kalender lainnya mungkin ditemui adanya perbedaan dengan yang sebenarnya tercantum dalam kalender. Hal ini bisa terjadi, sebab perhitungan perbandingan tarikh didasarkan pada hisab urfi bukan hisab hakiki, sedangkan tanggal yang terdapat dalam kalender, biasanya diperhitungkan menurut hisab hakiki. Meskipun demikian, perbedaan itu hanya sekitar satu hari saja.
Dalam hubungannya dengan penentuan awal bulan Qamariyah, perbandingan tarikh ini digunakan untuk mengetahui awal bulan Qamariyah itu secara taksiran. Berdasarkan taksiran ini kemudian diperhitungkan tanggal atau awal bulan Qamariyah yang sebenarnya. Oleh karena itu perbandingan tarikh ini bahkan tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam melakukan perhitungan awal bulan Qamariyah yang data-datanya disajikan menurut sistem kalender Masehi.
B. Metode Operasional Perbandingan Tarikh
Metode operasional perbandingan tarikh melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
Tahap pertama
Menentukan jumlah hari hingga tanggal yang akan dicari konversinya. Misalnya jika akan melakukan perbandingan tarikh antara tanggal 1 Januari 2006 M dengan tanggal menurut kalender Hijriyah atau Jawa-Islam, maka jumlah hari yang cari adalah jumlah hari mulai tanggal 1 Januari 1 M sampai dengan tanggal 1 Januari 2006 M. Jika yang akan dicari konversinya tanggal 1 Muharram 1427 H., maka jumlah hari yang dicari adalah jumlah hari mulai tanggal 1 Muharram 1 H. sampai 1 Muharram 1427 H. Jika yang akan dicari konversinya tanggal 1 Suro 1939 Alip, maka jumlah hari yang dicari adalah jumlah hari mulai tanggal 1 Suro 1555 Alip sampai dengan tanggal 1 Suro 1939 Alip.
Tahap kedua
Melakukan pengurangan atau penambahan antara jumlah hari yang diperoleh pada tahap pertama dengan jumlah selisih hari antara kalender yang akan dikonversi dengan kalender konversinya, misalnya selisih Masehi-Hijriyah (227016 hari), Masehi-Jawa-Islam (596266 hari) atau Hijriyah-Jawa-Islam (369250 hari). Jika tanggal yang sudah diketahui adalah tanggal menurut kalender Masehi, sedang yang akan dicari adalah tanggal menurut kalender Hijriyah atau Jawa-Islam, maka jumlah hari yang diperoleh melaui tahap petama dikurangi jumlah selisih hari antara Masehi-Hijriyah atau Masehi-Jawa-Islam. Sebaliknya jika tanggal yang sudah diketahui itu adalah tanggal menurut sistem kalender Hijriyah atau Jawa-Islam sedang yang akan dicari adalah tanggal menurut sistem kelender Masehi, maka jumlah hari yang diperoleh melalui tahap pertama itu ditambahkan dengan jumlah selisih hari antara Masehi-Hijriyah atau Masehi–Jawa-Islam. Jika tanggal yang sudah diketahui adalah tanggal menurut kalender Hijriyah, sedang yang akan dicari adalah tanggal menurut sistem kalender Jawa-Islam, maka jumlah hari yang diperoleh melalui tahap pertama dikurangi jumlah selisih hari Hijriyah-Jawa-Islam. Sebaliknya jika yang sudah diketahui adalah tanggal menurut kalender Jawa-Islam, sedang yang akan dicari adalah tanggal menurut kalender Hijriyah maka jumlah hari yang diperoleh melalui tahap pertama ditambahkan dengan jumlah selsisih hari Hijriyah-Jawa-Islam. Hasil dari tahap kedua ini menunjukkan jumlah hari sejak tanggal saat tahun pertama hingga tanggal, bulan dan tahun yang dicari.
Tahap ketiga
Mengolah hasil yang diperoleh melalui tahap kedua tersebut menjadi tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender yang sedang dicari perbandingan tarikhnya.
Tahap keempat
Tahap keempat adalah penyimpulan, yakni menyatakan tanggal, bulan dan tahun baik menurut sistem kalender yang tanggalnya sudah diketahui sejak sebelum melakukan perhitungan maupun tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender yang baru saja diketemukan melalui tahap-tahap sebelumnya.
Perlu dicatat di sini, bahwa dalam perhitungan perbandingan tarikh untuk kalender Masehi digunakan perhitungan menurut anggaran-anggaran kalender Yulian. Oleh karena itu, jika menghitung perbandingan tarikh sejak 15 Oktober 1582, untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, harus dimasukkan atau dikoreksi dengan anggaran-anggaran yang ditetapkan menurut sistem kalender Gregorian. Anggaran-aggaran tersebut adalah loncatan tanggal sebanyak 10 hari dan tahun-tahun abad yang tidak habis dibagi dengan empat ditetapkan sebagai tahun basitah. Setelah jumlah hari dalam kalender Masehi dihitung menurut sistem kalender Yulian kemudian dikurangi sebanyak 10 hari. Berikutnya lagi dikurangi dengan jumlah hari sesuai dengan bilangan abad yang tidak habis dibagi empat yang terlewati sesudah abad ke-16. Misalnya kalau menghitung perbandingan tarikh untuk tahun 2006 M., maka pengurangan adalah 10 hari ditambah 3 hari. Pengurangan 3 hari tersebut diperoleh dari bilangan abad yang tidak habis dibagi empat yakni sebanyak 3 abad (abad ke-17, ke-18, ke-19) masing-masing abad 1 hari.
Melalui perbandingan tarikh juga dapat ditentukan hari dan pasaran dari tanggal yang sedang dicari konversinya. Adapun caranya adalah sebagai berikut:
Penentuan hari
Penentuan hari dapat diketahui melalui jumlah hari yang terdapat dalam kalender Masehi, Hijriyah maupun Jawa-Islam. Jika yang digunakan jumlah hari dalam kalender Masehi, maka jumlah hari itu dibagi dengan 7 dan sisanya dihitung mulai hari Sabtu. Artinya jika bersisa 1 berarti hari Sabtu, jika bersisa 2 berarti hari Ahad dan begitu seterusnya. Sedangkan jika tidak bersisa berarti hari Jumat.
Jika yang digunakan jumlah hari dalam kalender Hijriyah, maka jumlah hari itu dibagi dengan 7 dan sisanya dihitung mulai hari Jumat. Artinya jika bersisa 1 berarti hari Jumat, jika bersisa 2 berarti hari Sabtu dan begitu seterusnya. Sedangkan jika tidak bersisa berarti hari Kamis. Ini bagi yang berpendapat bahwa tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah jatuh pada hari Jumat Legi bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Sedangkan bagi yang berpendapat bahwa tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah jatuh pada hari Kamis Kliwon bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 M, maka sisa 1 berarti hari Kamis, sisa 2 berarti hari Jumat dan begitu seterusnya. Jika tidak bersisa berarti hari Rabu.
Jika yang digunakan jumlah hari dalam kalender Jawa-Islam, maka jumlah hari itu dibagi dengan 7 dan sisanya dihitung mulai hari Jumat. Artinya jika bersisa 1 berarti hari Jumat, jika bersisa 2 berarti hari Sabtu dan begitu seterusnya. Sedangkan jika tidak bersisa, berarti hari Kamis.
Penentuan Pasaran
Penentuan pasaran dapat diketahui melalui jumlah hari yang terdapat dalam kalender Masehi, Hijriyah maupun Jawa-Islam. Jika yang digunakan jumlah hari dalam kalender Masehi, maka jumlah hari dibagi dengan 5 dan sisanya dihitung mulai Kliwon. Artinya jika bersisa 1 berarti Kliwon, jika bersisa 2 berarti Legi, dan begitu seterusnya. Sedangkan jika tidak bersisa berarti Wage.
Jika yang digunakan jumlah hari dalam kalender Hijriyah, maka jumlah hari itu dibagi dengan 5 dan sisanya dihitung mulai Legi. Artinya jika bersisa 1 berarti Legi, jika bersisa 2 berarti Pahing dan begitu seterusnya. Sedangkan jika tidak bersisa berarti Kliwon. Ini bagi yang berpendapat bahwa tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah jatuh pada hari Jumat Legi bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. sedangkan bagi yang berpendapat bahwa tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah jatuh pada hari Kamis Kliwon bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 M, maka sisa 1 berarti Kliwon, sisa 2 berarti Legi dan begitu seterusnya. Jika tidak bersisa berarti Wage.
Jika yang digunakan jumlah hari dalam kalender Jawa-Islam, maka jumlah hari itu dibagi dengan 5 dan sisanya dihitung mulai Legi. Artinya jika bersisa 1 berarti Legi, jika bersisa 2 berarti Pahing dan begitu seterusnya. Sedangkan jika tidak bersisa, berarti Kliwon.
C. Contoh Perbandingan Tarikh (Konversi Tanggal)
1. Konversi Tanggal Masehi Ke Tanggal Hijriyah
Tentukan tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender Hijriyah bagi tanggal 20 Maret 2006 M. (1 Muharram 1 H. bertepatan dengan hari Jumat Legi 16 Juli 622 M.). Tentukan pula hari dan pasarannya!
a.Penentuan tanggal, bulan dan tahun
1.Jumlah hari sejak 1 Jan 1 M s/d 20 Mar 2006 M.
2005 tahun + 2 bulan + 20 hari
2005 : 4 = 501 daur + 1 tahun
501 daur = 501 x 1461 = 731961 hari
1 tahun = 1 x 365 hari = 365 hari
2 bulan = 59 hari
20 hari = 20 hari +
Jumlah = 732405 hari
Anggaran Gregorius XIII = 13 hari -
Jumlah = 732392 hari

2.Selisih Masehi – Hijriyah1 = 227016 hari -
= 505376 hari
3.Menentukan tanggal, bulan dan tahun Hijriyah:
505376 : 10631 = 47 daur + 5719 hari
47 daur = 47 x 30 tahun = 1410 tahun
5719 : 354 = 16 tahun + (55 – 6 = 49 hari)2 = 16 tahun
49 hari = 1 bulan + 19 hari = 1 bulan
19 hari = 19 Shafar = 19 hari
= 19 Shafar 1427
4.Kesimpulan:
Tanggal 20 Maret 2006 M. bertepatan dengan tanggal 19 Shafar 1427 H.
b.Penentuan hari3:
732392 : 7 = 104627 sisa 3, berarti hari Senin.
c.Penentuan pasaran4:
732392 : 5 = 146478 sisa 2, berarti Legi.

2. Konversi Tanggal Hijriyah Ke Tanggal Masehi
Tentukan tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender Masehi bagi tanggal 19 Shafar 1427 H. (1 Muharram 1 H. bertepatan dengan hari Jumat Legi 16 Juli 622 M.). Tentukan pula hari dan pasarannya!
a. Penentuan tanggal, bulan dan tahun
1.Jumlah hari sejak 1 Muh 1 H. s/d 19 Shafar 1427 H.
1426 tahun + 1 bulan + 19 hari
1426 : 30 = 47 daur + 16 tahun
47 daur = 47 x 10631 = 499657 hari
16 tahun = 16 x 354 hari + 6 hari5 = 5670 hari
1 bulan = 1 x 29 + 1 hari = 30 hari
19 hari = = 19 hari +
Jumlah = 505376 hari

2.Selisih Masehi – Hijriyah6 = 227016 hari
Anggaran Gregorius XIII = 13 hari +
Jumlah = 732405 hari
3.Menentukan tanggal, bulan dan tahun Masehi:
732405 : 1461 = 501 daur + 444 hari
501 daur = 501 x 4 tahun = 2004 tahun
444 : 365 = 1 tahun + 79 hari = 1 tahun
79 hari = 2 bulan + 20 hari = 2 bulan
20 hari = 20 Maret = 20 hari
= 20 Maret 2006 M.
4.Kesimpulan:
Tanggal 19 Shafar 1427 H. bertepatan dengan tanggal 20 Maret 2006 M.
b.Penentuan hari7:
505376 : 7 = 72196 sisa 4, berarti hari Senin.
c.Penentuan pasaran8:
505276 : 5 = 101075 sisa 1, berarti Legi.
3. Konversi Tanggal Masehi Ke Tanggal Jawa-Islam
Tentukan tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender Jawa-Islam bagi tanggal 25 April 2006 M. (1 Suro tahun Alip 1555 bertepatan dengan hari Jum’at Legi 1 Muh 1043 H.) Tentukan pula hari dan pasarannya!.
a. Penentuan tanggal, bulan dan tahun:
1.Jumlah hari sejak 1 Jan. 1 M. s/d 25 April 2006 M.
2005 tahun + 3 bulan + 25 hari
2005 : 4 = 501 daur + 1 tahun
501 daur = 501 x 1461 hari = 731961 hari
1 tahun = 1 x 365 hari = 365 hari
3 bulan = 3 x 30 + 0 hari = 90 hari +
25 hari = = 25 hari +
Jumlah = 732441 hari
Anggaran Gregorius XIII = 13 hari -
Jumlah = 732428 hari
2. Selisih Masehi –Jawa-Islam9 = 596266 hari -
Jumlah = 136162 hari
3. Menentukan tanggal, bulan dan tahun Jawa-Islam:
136162 : 2835 = 48 daur + (82 + 3 = 85 hari)10
48 daur = 48 x 8 tahun = 384 tahun
Tahun sebelum tahun Alip 1555 = 1554 tahun
85 hari = 2 bulan + 26 hari = 2 bulan
26 hari = 26 Mulud = 26 hari
= 26 Mulud 1939 Alip
4. Kesimpulan:
Tanggal 25 April 2006 M. bertepatan dengan tanggal 26 Mulud 1939 Alip.
b.Penentuan hari11:
732428 : 7 = 104632 sisa 4 berarti hari Selasa.
c. Penentuan pasaran12:
732428 : 5 = 146485 sisa 3 berarti Pahing.
4. Konversi Tanggal Jawa-Islam Ke Tanggal Masehi
Tentukan tanggal, bulan dan tahun menurut sistem kalender Masehi bagi tanggal 26 Mulud 1939 Alip. (1 Suro tahun Alip 1555 bertepatan dengan hari Jum’at Legi 1 Muh 1043 H.) Tentukan pula hari dan pasarannya!.
a. Penentuan tanggal, bulan dan tahun:
1.Jumlah hari sejak 1 Suro tahun Alip 1555 s/d 26 Mulud 1939 Alip.
1939 - 1554 = 385
384 tahun + 2 bulan + 26 hari
384 : 8 = 48 daur
48 daur = 48 x 2835 hari – 3 hari13 =136077 hari
2 bulan = 2 x 29 + 1 hari = 59 hari
26 hari = = 26 hari +
Jumlah = 136162 hari

2. Selisih Masehi – Jawa-Islam14 = 596266 hari +
Jumlah = 732428 hari

3. Menentukan tanggal, bulan dan tahun Masehi:
732428 : 1461 = 501 daur + 480 hari
501 daur = 501 x 4 tahun = 2004 tahun
480 : 365 = 1 tahun + 115 hari = 1 tahun
115 hari = 3 bulan + 25 hari = 3 bulan
25 hari = 25 April = 25 hari
= 25 April 2006
4. Kesimpulan:
Tanggal 26 Mulud 1939 Alip bertepatan dengan tanggal 25 April 2006 M.

b. Penentuan hari15:
136162 : 7 = 19451 sisa 5 berarti hari Selasa.

c. Penentuan pasaran16:
136162 : 5 = 27232 sisa 2 berarti Pahing.
5. Konversi Tanggal Hijriyah Ke Tanggal Jawa-Islam
Tentukan tanggal, bulan dan tahun menurut kalender Jawa-Islam bagi tanggal 12 Rabi’ul Awal 1427 H. (1 Suro tahun Alip 1555 jatuh pada hari Jum’at Legi bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 H.). Tentukan pula hari dan pasarannya!
a. Penentuan tanggal, bulan dan tahun:
1.Jumlah hari sejak 1 Muharram 1 H. s/d 12 Rab’ul Awal 1427 H.
1426 tahun + 2 bulan +12 hari
1426 : 30 = 47 daur + 16 tahun
47 daur = 47 x 10631 hari = 499657 hari
16 tahun = 16 x 354 hari + 6 hari17 = 5670 hari
2 bulan = 2 x 29 + 1 = 59 hari
12 hari = = 12 hari +
Jumlah = 505398 hari
2. Selisih Hijriyah – Jawa-Islam18 = 369250 hari –
Jumlah = 136148 hari
3. Menentukan tanggal, bulan dan tahun Jawa-Islam:
136148 : 2835 = 48 daur + (68 hari + 3 hari = 71 hari)19
48 daur = 48 x 8 tahun = 384 tahun
Tahun sebelum tahun Alip 1555 = 1554 tahun
71 hari = 2 bulan + 12 hari = 2 bulan
12 hari = 12 Mulud = 12 hari
12 Mulud 1939 Alip
4. Kesimpulan tanggal 12 Rabi’ul Awal 1427 H. bertepatan dengan tanggal 12 Mulud 1939 Alip.
b. Penentuan hari20:
505398 : 7 = 72199 sisa 5 berarti hari Selasa.
c. Penentuan pasaran21:
505398 : 5 = 101079 sisa 3 berarti Pon.
6. Konversi Tanggal Jawa-Islam Ke Tanggal Hijriyah
Tentukan tanggal, bulan dan tahun menurut kalender Hijriyah bagi tanggal 12 Mulud 1939 Alip. (1 Suro tahun Alip 1555 jatuh pada hari Jum’at Legi bertepatan dengn tanggal 1 Muharram 1043 H.). Tentukan pula hari dan pasarannya!
a. Penentuan tanggal, bulan dan tahun:
1. Jumlah hari sejak 1 Suro tahun Alip 1555 s/d 12 Mulud 1939 Alip.
1939 – 1554 = 385
384 tahun + 2 bulan + 12 hari
384 : 8 = 48 daur
48 daur = 48 x 2835 hari – 3 hari22 = 136077 hari
2 bulan = 2 x 29 + I hari = 59 hari
12 hari = 12 hari +
Jumlah = 136148 hari
2. Selisih Hijriyah – Jawa-Islam23 = 369250 hari +
Jumlah = 505398 hari
3. Menentukan tanggal, bulan dan tahun Hijriyah:
505398 : 10631 = 47 daur + 5741 hari
47 daur = 47 x 30 tahun = 1410 tahun
5741 : 354 = 16 tahun + (77 – 6 = 71 hari)24 = 16 tahun
71 hari = 2 bulan + 12 hari = 2 bulan
12 hari = 12 Rabi’ul Awal = 12 hari
12Rabi’ulAwal1427H
5. Kesimpulan tanggal 12 Mulud 1939 Alip bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awal 1427 H.
b. Penentuan hari25:
136148 : 7 = 19449 sisa 5, berarti hari Selasa.
c. Penentuan pasaran26:
136148 : 5 = 27229 sisa 3, berarti Pon.

BAB IV
HISAB HAKIKI AWAL BULAN QAMARIYAH
A.Pengertian Bulan Qomariyah
Salah satu kebutuhan manusia dalam hidup bermasyarakat adalah sistem penanggalan atau kalender. Penanggalan ini tidak lain adalah sistem satuan-satuan ukuran waktu yang digunakan untuk mencatat peristiwa-peristiwa penting, baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri atau kejadian alam di lingkungan sekitarnya. Satuan-satuan ukuran waktu itu adalah hari, minggu, bulan, tahun dan sebagainya. Salah satu sistem penaggalan yang sering digunakan adalah penagggalan Qamariyah yaitu penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Tahun Qamariyah terdiri dari 12 bulan. Bulan-bulan dalam perhitungan sistem tahun Qamariyah hanya terdiri dari 29 atau 30 hari, tidak pernah lebih atau kurang. Untuk penanggalan Hijriyah terdiri dari bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Akhirah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Zulqa’dah dan Zulhijjah.
Lamanya satu bulan Qamariyah didasarkan kepada waktu yang berselang antara dua ijtima’, yaitu rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Ukuran waktu tersebut disebut satu periode bulan sinodis / the synodic month / syahr iqtirony. Satu periode bulan sinodis bukanlah waktu yang diperlukan oleh bulan dalam mengelilingi bumi satu kali putaran penuh, melainkan waktu yang berselang antara 2 posisi sama yang dibuat oleh bumi, bulan dan matahari. Waktu tersebut lebih panjang dari waktu yang diperlukan oleh bulan dalam mengelilingi bumi sekali putaran penuh. Waktu yang dipergunakan oleh bulan dalam mengelilingi bumi satu kali putaran penuh disebut satu periode bulan sideris/the sideral month/syahr nujumy yaitu selama 27 hari 7 jam 43 menit 11,5 detik.
Untuk mendapat pengertian lebih jelas, perhatikan gambar berikut.



Dalam peredaran sebenarnya, bumi (B) mengelilingi matahari (M) dengan arah rektrograd (arah dari barat ke timur) dalam satu kali putaran penuh selama satu tahun, yang kita kenal dengan istilah revolusi. Sambil mengedari matahari bumi diedari pula oleh bulan (B) dengan arah yang sama. Pada “posisi 1” matahari dan bulan digambarkan sedang ijtima’, yaitu sama-sama terletak pada satu bujur astronomis. Kemudian bumi bergerak terus mengedari matahari, demikian pulan bulan terus mengedari bumi. Pada saat bulan menempati posisi titik P, maka berarti sejak meninggalkan “posisi 1” bulan telah melakukan edaran satu kali putaran penuh mengelilingi bumi, selama 27 hari 7 jam 43 menit 11,5 detik (satu kali sideris), namun posisinya belum sama seperti “Posisi 1”. Setelah 2 hari lebih sejak bulan menempati posisi titik P maka ia akan menempati suatu titik seperti pada “Posisi 2”, tempat matahari dan bulan sama-sama terletak pada satu bujur astronomis seperti pada “posisi 1”. “Posisi 2” inipun menggambarkan saat bulan dan matahari sedang ijtima’. Jadi waktu yang berselang antara “Posisi 1” dan “Posisi 2” inilah yang dikenal dengan satu periode bulan sinodis yang rata-rata lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,9 detik dan dijadikan dasar dalam penetapan awal bulan Qamariyah.

Dalil Syar’i
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.(QS. Al- Baqarah: 189)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercaya, dan menetapkannya pada manazilah-manazilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus:5)
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا

“Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam, dan kami jadikan siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan”. (QS. Al-Isra: 2)
وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ.
“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang inilah mereka-mereka mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl: 16)
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ.
“Bahwasannya bilangan bulan disisi Allah itu dua belas didalam kitab Allah sejak hari (waktu) Ia menjadikan langit dan bumi”. (QS. At Taubah: 36)
وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit, dan kami telah menghiasinya bagi orang-orang yang memandangnya”. (QS. Al- Hijr: 16)
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ.
“Dan Dia-lah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis peredarannya”. (QS. Al-Anbiya: 33)
فَالِقُ الْإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ.
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan menjadikan matahari dan bulan untuk perhitungan” (QS. Al-An’am:96).
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ.
“Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu agar kamu jadikan petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut”. (QS. Al-An’am: 97)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
“Barang siapa diantara kamu hadir (di tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. Al-Baqarah: 185).
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ.
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. (QS. Ar-Rahman: 5)
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ.
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah ia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua” (QS. Yasin: 39)
َا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ.
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”. (QS. Yasin: 40)
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلَّا أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Jangalah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal (Ramadhan) dan janganlah kamu berbuka sebelum kamu melihat hilal (Syawal). Jika tertutup atas kalian maka taqdirkanlah”. (HR. Muslim dari Ibn Umar).
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
Bahwasannya Rasullullah SAW menuturkan tentang bulan ramadlan, lalu beliau berisyarat dengan tangannya seraya berkata itu sekian, sekian dan sekian (dengan menekuk ibu jarinya pada kali yang ketiga), kemudian beliau berkata : “Berpuasalah kalian karena terlihat hilal (Ramadhan), dan berbukalah kalian karena terlihat hilal (Syawal), jika tertutup atas kalian maka taqdirkanlahbulan itu 30 hari”. (HR. Muslim dari ibn Umar).
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Bulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sebelum kamu melihat hilal (Ramadhan). Apabila tertutup atas kalian maka sempurnakanlah bilangan bulan (Sya’ban) tigapuluh hari”. (HR. Muslim dari Ibn Umar).
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kamu semua karena terlihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kamu semua karena terlihat hilal (Syawal). Bila hilal tertutup atasmu maka sempurnakanlah bilangan bilangan bulan Sya’ban tigapuluh”. (HR. Bukhari)
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bahwa Ummu Fadl binti al-Haris mengutus Kuraib menghadap Mu’awiyah di Syam. Lalu Kuraib berkata: Setelah sampai di Syam, saya selesaikan urusan Ummu Fadl dan tampaklah oleh saya hilal Ramadhan ketika saya di Syam. Saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan). Lalu Abdullah bin Abbas memanggilku lalu membicarakan tentang hilal. Abdullah bertanya: Kapan kamu (Kuraib) melihat hilal?”. Saya menjawab “Kami melihatnya pada malam Jum’at”. Kamu melihatnya? Aku jawab : Ya, dan banyak orang yang melihatnya lalu mereka berpuasa, Mu’awiyah juga berpuasa. Abdullah bin Abbas berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, kita senantiasa (mulai) berpuasa hingga menyempurnakan (Sya’ban) 30 hari atau melihat hilal”. Kemudian saya (Kuraib) berkata: Tidak cukupkah dengan rukyat mereka dan puasanya Mu’awiyah ? Jawab Abdullah: Tidak, demikian inilah perintah Rasullah SAW. (HR. Muslim dari Kuraib).
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا.
“Seorang Badui datang kepada Nabi SAW lalu ia berkata: “Saya telah melihat hilal”. Lalu Nabi bertanya: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah? Badui menjawab: Ya. Kemudian Rasullullah berkata: Ya Bilal, umumkan kepada manusia untuk berpuasa besuk pagi” (HR. Tirmidzi).
لَا تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ قَبْلَهُ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ قَبْلَهُ
“Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan hingga kalian melihat hilal sebelumnya atau menyempurnakan bilangan (Sya’ban), kemudian berpuasalah kalian sesudah melihat hilal atau menyempurnakan bilangan (bulan) sebelumnya. (HR. an-nasa’i).
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابٌ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلَا تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالًا.
“Berpuasalah kalian karena terlihatnya hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian karena terlihatnya hilal (Syawal). Jika awan menghalangi antara kalian dan hilal maka sempurnakanlah bilangan (Sya’ban). Sekali-kali janganlah mendahului bulan Ramadhan”. (HR. an-nasa’i).
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ.
“Rasullullah SAW sangat berhati-hati tentang bulan Sya’ban tidak seperti bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau berpuasa karena terlihatnya hilal. Apabila tertutup atas beliau, maka beliau menghitung (Sya’ban) 30 hari, lalu beliau berpuasa. (HR. Abu Dawud).
Istilah-Istuilah Yang Berhubungan Dengan Hisab Awal Bulan Qamariyah
a.Lintang atau Latitude, yaitu jarak dari suatu tempat di permukaan bumi ke katulistiwa (ekuator) diukur melalui lingkaran meridian yang melalui tempat itu. Lintang ditandai dengan huruf Yunani  (phi) dan diukur dengan satuan derajat (0), menit (’), dan detik (’’) busur. Jarak khatulistiwa dengan kutub bumi besarnya 900. Lingkaran khatulistiwa diberi angka 00 dan kedua kutub bumi diberi angka 900. Tempat-tempat yang dilalui atau berada pada lingkaran khatulistiwa lintang tempatnya 00. Lingkaran-lingkaran parallel, lingkaran lintang, baik yang ada di sebelah utara maupun di sebelah selatan khatulistiwa diberi angka antara 00 sampai 900. Lingkaran-lingkaran parallel yang ada di sebelah utara khatulistiwa diberi tanda positif (+), atau dengan kata lain, Lintang Utara diberi tanda positif (+). Sedangkan lingkaran-lingkaran parallel yang ada di sebelah selatan khatulistiwa biasanya diberi tanda negatif (-), atau dengan kata lain, Lintang Selatan diberi tanda negatif (-). Titik kutub utara lintangnya +900, sedangkan titik kutub selatan lintangnya -900. Tempat-tempat yang sama lintangnya terletak pada suatu lingkaran parallel yang sama pula.
b.Bujur atau Longitude, yaitu jarak dari suatu tempat di permukaan bumi ke lingkaran meridian utama (prime meridian) diukur melalui lingkaran khatulistiwa. Bujur atau longitude ditandai dengan huruf Yunani  (lamda) dan diukur dengan satuan derajat (0), menit (’), dan detik (’’) busur. Keliling bumi diukur melalui lingkaran khatulistiwa, kurang lebih 40.000 km. Keliling bumi ini kemudian ditetapkan besarnya sama dengan lingkaran penuh 3600. Dalam ilmu falak, meridian 00 merupakan lingkaran Meridian Utama (Prime Meridian). Ketetapan ini didasarkan pada konsensus internasional pada tahun 1884. Meridian 00 merupakan batas antara permukaan bumi bagian barat dan bagian timur. Pertemuan antara bagian barat dan bagian timur ini berada pada meridian 1800. Dengan demikian, meridian 1800 merupakan kebalikan dari meridian 00. Meridian 1800 itu tepat melalui Lautan Pasifik, dan dijadikan pedoman untuk Garis Batas Tanggal Internasional (International Date Line). Meridian yang berada di sebelah barat maupun di sebelah timur meridian 00 diberi angka antara 00 sampai 1800. Meridian yang berada di sebelah barat disebut Bujur Barat (BB) dan biasanya diberi tanda negatif (-), sedangkan yang berada di sebelah timur disebut Bujur Timur (BT) dan biasanya diberi tanda positif (+). Bujur 1800 BB berimpit dengan bujur 1800 BT. Tempat-tempat yang mempunyai bujur yang sama besar berarti ada pada lingkaran meridian yang sama. Dengan kata lain, tempat-tempat yang berada pada lingkaran meridian yang sama, mempunyai bujur yang sama besar pula.
c.Deklinasi, yaitu jarak dari suatu benda langit ke lingkaran Ekuator diukur melalui lingkaran waktu yang melalui benda langit tersebut. Deklinasi ini dihitung mulai dari titik perpotongan antara lingkaran waktu yang melalui benda langit sampai ke titik pusat benda langit tersebut. Apabila benda langit persis berada pada lingkaan Ekuator, deklinasinya bernilai 0o semakin ke utara atau ke selatan, deklinasi itu semakin besar hingga mencapai harga 90o, yakni benda langit berada persis di titik kutub. Deklanasi suatu benda langit biasanya ditandai dengan huruf yunani δ (delta). Apabila benda langit itu berada di utara Ekuator, deklanasinya ditandai dengan +, sedangkan apabila disebelah selatannya biasanya ditandai dengan -. Deklanasi Matahariterbesar adalah sekitar 230 26’ 30” (di utara Ekuator) dicapai pada sekitar Bulanjuni, atau sekitar -230 26” 30” (diselatan Ekuator) dicapi sekitar tanggal 22 Desember.
d.Sudut Waktu, yaitu jarak suatu benda langit dengan titik kulminasinya. Dapat pula dikatakan sudut pada titik kutub langit yang dibentuk oleh perpotongan antara lingkaran meridian dengan lingkaran waktu yang melalui benda langit tertentu di bola l;angit. Dikatakan sudut waktu karena bagi semua benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama berlaku ketentuan jarak waktu yang memisahkann benda-benda langit ketika berada pada lingkaran waktu yang sama, dengan kedudukan pada saat berkulminasi (berada pada lingkaran meridian) adalah sama” besarnya sudut waktu tersebut menunjukan berapa jumlah waktu yang memisahkan benda langit bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi. Sudut langit bersangkutan berkedudukan disebelah barat lingkaran meridian dan dinamakan negative (-) jika berkedudukan disebelah timur lingkaran meridian ketika benda langit bherkulminasi atas, maka udut waktunya bernilai 00, sedangkan ketika berkulminasi bawah nilainya 1800. karena yang diperlukan dalam sudut waktu itu adalah waktu maka satuan derajat, menit, dan detik busur itu dikonversi menjadi jam, menit, detik waktu.
e.Ketinggian, yaitu jarak suatu benda langit dari horizon diukur melalui lingkaran vertikal. Atau secara lebih rinci lagi, ketinggian itu adalah jarak dari titik pusat suatu benda langit ke titik perpotongan antara lingkaran horizon dan lingkaran vertikal yang melalui benda langit itu. Ketinggian ini diukur melalui lingkaran vertikal yang melalui benda langit. Pengukurannya dimulai dari titik perpotongan kedua lingkaran tersebut sampai ke titik pusat benda langit. Ketinggian suatu benda langit biasanya ditandai dengan “h”. Apabila titik pusat benda langit persis pada lingkaran horizon maka ketinggian benda langit tersebut dinyatakan 0o, semakin jauh dari lingkaran horizon, ketinggiannya semakin besar. Ketinggian benda langit di atas lingkaran horizon ditandai dengan (+) sedangkan di bawah lingkaran Horizon ditandai dengan (-). Ketinggian benda langit yang terbesar dicapai oleh benda langit pada saat berada di titik zenit yaitu 90o, atau pada saat berada di titik nadir yaitu -90o. Ketinggian benda langit pada saat berkulminasi biasanya ditandai dengan “hm”.
f.Azimut, yaitu busur pada lingkaran horizon diukur mulai dari titik utara ke arah timur. Azimut suatu benda langit adalah jarak sudut pada lingkaran horizon diukur mulai dari titik utara ke arah timur (atau menurut arah perputaran jarum jam) sampai ke titik perpotongan antara lingkaran horizon dengan lingkaran vertikal yang melalui benda langit tersebut.
g.Ascensio Recta atau Panjatan Tegak, yaitu jarak dari titik aries ke titik perpotongan antara lingkaran Ekuator dengan lingkaran waktu yang melalui suatu benda langit tertentu. Jarak ini diukur sepanjang lingkaran Ekuator dan dihitung mulai dari ttik aries bawah kea rah timur (recktrograd). Ascension recta biasanya dinyatakan dalam satuan waktu dan ditandai dengan huruf yunani ά.
h.Celestial Longitude atau takwim, yaitu jarak dari titik aries ke suatu benda langit diukur sepanjang lingkaran Ekliptika dan digitung mulai dari titik aries kea rah timur hingga ke titik perpotongan antara lingkaran Ekliptika dengan lingkaran lintang langit (Celestial Longitude). Penambahan kata “langit” (celestial) pada kata bujur (Longitude) untuk membedakan dengan bujur pada permukaan Bumi (Longitude). Besaran Takwim ini dinyataka dalamm derajat, menit, dan detik busur.
i.Parallaks (Ikhtilaful Mandhar). Parallaks (ikhtilaful mandhar) adalah beda lihat, yaitu beda lihat terhadap suatu benda langit bila dilihat dari titik pusat bumi dengan dilihat dari permukaan bumi. Parallaks ini diformulasikan dengan besarnya suatu sudut antara dua garis yang ditarik dari benda langit ke titik pusat bumi dan garis yang ditarik dari benda langit yang bersangkutan ke mata peninjau di permukaan bumi. Parallaks ini berubah-ubah harganya setiap saat tergantung pada jarak antara benda langit yang bersangkutan dengan bumi dan tergantung pula dengan ketinggian benda langit itu dari ufuk. Semakin jauh jaraknya semakin kecil harga parallaksnya. Begitu juga semakin tinggi posisi benda langit dari ufuk semakin kecil pula harga parallaksnya. Ketika benda langit berada di titik kulminasi maka harga parallaksnya 0 (nol). Apabila benda langit berada di horizon atau ufuk maka parallaksnya disebut horizontal parallaks (HP) karena sebagai acuan perhitungan horizontal parallaks ini adalah jari-jari bumi (R) pada ekuator bumi yaitu 6378.14 km.
j.Kerendahan ufuk (Dip). Kerendahan ufuk (Dip) atau ikhtilaful ufuq adalah perbedaan kedudukan antara ufuk yang sebenarnya (hakiki) dengan ufuk yang terlihat (mar’i) oleh seorang pengamat. Setiap orang yang mengamati benda-benda langit, termasuk matahari dan bulan, matanya tidak akan tepat di permukaan bumi maupun di permukaan air laut, melainkan ada pada ketinggian tertentu di atasnya. Sementara ufuk yang tampak di lapangan adalah batas persinggungan antara pandangan mata dengan permukaan bumi atau permukaan air laut. Dengan demikian kedudukan ufuk mar’i itu lebih rendah daripada ufuk hakiki.
k.Refraksi atau daqa’iqul ikhtilaf adalah “pembiasan sinar”, yaitu perbedaan antara tinggi suatu benda langit yang sebenarnya dengan tinggi benda langit itu yang dilihat sebagai akibat adanya pembiasan sinar. Refraksi ini terjadi karena sinar yang datang sampai ke mata kita telah melalui lapisan-lapisan atmosfir, sehingga sinar yang datang itu mengalami pembengkokan, padahal yang kita lihat adalah arah lurus pada sinar yang ditangkap mata kita.
l.Ijtima’. Ijtima’ adalah satu istilah dalam ilmu falak. Istilah itu diambil dari bahasa Arab yang mempunyai arti “berkumpul”. Istilah lain untuk pengertian yang sama adalah “iqtiran”. Dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal pulan dengan sebutan “konjungsi” yang diambil dari bahasa Inggris, “conjunction”.
BAB V
PRAKTEK HISAB HAKIKI AWAL BULAN QAMARIYAH
DENGAN DATA EPHEMERIS
A. Pendahuluan
Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa penentuan data bulan dan matahari dalam ephemeris hisab rukyah, digunakan penentuan tanggal, bulan dan tahun Masehi. Sedang waktu yang digunakan adalah waktu Greenwich, sehingga apabila orang akan menggunakan data yang termuat di dalamnya, untuk waktu setempat, harus menyesuaikan waktunya dengan waktu Greenwich sesuai dengan selisih bujurnya.
Begitu pula apabila orang akan menentukan terjadinya waktu ijtima’ akhir bulan Qamariyah, menjelang bulan-bulan baru, maka terjadinya ijtima’ tersebut harus ditukar dulu dengan kalender Syamsiyah.
Suatu ketentuan yang tak boleh dilupakan, bahwa hari dalam kalender Qamariyah dimulai dari sesaat setelah terbenamnya matahari, sedang dalam kalender Syamsiyah hari dimulai setelah matahari berkulminasi bawah atau sesaat setelah tengah malam untuk kota Greenwich.
Maka di samping perkiraan terjadinya waktu ijtima’, saat terjadinya matahari terbenam sangat diperlukan penentuannya secara teliti, baik data bulan ataupun data matahari, agar hasil hisab yang diperoleh mendekati kebenaran. Begitu pula penentuan tempat peninjauan baik lintang atau bujurnya, harus dipergunakan data yang akurat, sehingga hasil perhitungan dapat dipergunakan untuk observasi secara tepat.
Ketinggian tempat peninjauan juga perlu ditentukan dengan cermat, agar hasil hisab tidak berbeda dengan hasil observasi. Itulah sebabnya maka diperlukan pengukuran yang sangat teliti.
Karena data bulan dan matahari dalam ephemeris hisab rukyah itu ditentukan tiap jam, maka untuk menit dan detiknya diperoleh dengan menginterpolasi. Maka ketelitian dalam menginterpolasi itu sangat menentukan bagi ketelitian hasil hisab.
B. Ephemeris Hisab dan Rukyat
Banyak buku atau sistem hisab awal bulan Qamariyah berkembang di Indonesia. Satu diantaranya adalah sistem Ephemeris Hisab Rukyat. Ephemeris Hisab Rukyat adalah buku yang diterbitkan setiap tahun oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI. Buku ini memuat data astronomis matahari dan bulan pada setiap jam dalam satu tahun. Data astronomis ini dapat pula dilihat dan dicetak melalui software program WinHisab versi 2.0.
Data matahari yang dimuat di dalamnya adalah:
1.Ecliptic Longitude (Bujur Astronomis Matahari = Thulus Syams), yaitu jarak matahari dari titik aries diukur sepanjang lingkaran ekliptika.
2.Ecliptic Latitude (Lintang Astronomis Matahari = ‘Ardlus Syams), yaitu jarak titik pusat matahari dari lingkaran ekliptika diukur sepanjang lingkaran kutub ekliptika.
3.Apparent Right Ascension (Panjatan Tegak = al-Mathali’ul Baladiyah), adalah jarak matahari dari titik Aries diukur sepanjang lingkaran ekuator.
4.Apparent Declination (Deklinasi Matahari = Mail Syams), adalah jarak matahari dari ekuator diukur sepanjang lingkaran deklinasi.
5.True Geosentric Distance (Jarak Geosentris), yaitu jarak rata-rata antara bumi dengan matahari sekitar 150 juta km yang nilainya = 1 AU.
6.Semi Diameter (jari-jari piringan matahari = Nisful Quthris Syams), adalah jarak titik pusat matahari dengan piringan luarnya.
7.True Obliquity (Kemiringan Ekliptika = Mail Kulli), adalah kemiringan ekliptika dari ekuator.
8.Equation of Time (Perata Waktu = Ta’dilil Waqti), adalah selisih antara waktu kulminasi matahari hakiki dengan waktu kulminasi matahari rata-rata.
Sedangkan data bulan yang dimuat di dalamnya adalah :
1.Apparent Longitude (Bujur Astronomis Bulan = Thulul Qomar), yaitu jarak dari titik Aries sampai titik perpotongan antara lingkaran kutub ekliptika yang melewati bulan dengan lingkaran ekliptika, diukur sepanjang lingkaran ekliptika.
2.Apparent Latitude (Lintang Astronomis Bulan = Ardlul Qomar), yaitu jarak antara bulan dengan lingkaran ekliptika diukur sepanjang lingkaran kutub ekliptika.
3.Apparent Right Ascention (Panjatan Tegak = al-Mathali’ul Baladiyah), yaitu jarak dari titik aries sampai titik perpotongan lingkaran deklinasi yang melewati bulan dengan ekuator, diukur sepanjang lingkaran ekuator.
4.Apparent Declination (Deklinasi Bulan = Mailul Qomar), adalah jarak bulan dari ekuator sepanjang lingkaran deklinasi.
5.Horizontal Parallax (beda lihat = Ikhtilaful Mandhar), adalah sudut antara garis yang ditarik dari titik pusat bulan ketika di ufuk ke titik pusat bumi dan garis yang ditarik dari titik pusat bulan ketika itu ke permukaan bumi.
6.Semi Diameter (Jari-jari piringan bulan = Nisfu Quthril Qamar), yaitu jarak antara titik pusat bulan dengan piringan luarnya.
7.Angle Bright Limb (Sudut kemiringan bulan), adalah kemiringan piringan hilal yang memancarkan sinar sebagai akibat arah posisi hilal dari matahari. Sudut ini diukur dari garis yang menghubungkan titik pusat hilal dengan titik zenit ke garis yang menghubungkan titik pusat hilal dengan titik pusat matahari searah jarum jam.
8.Fraction Illumination (Phase bulan), yaitu luasnya piringan bulan yang menerima sinar matahari yang menghadap ke bumi. Harga illuminasi bulan ketika purnama adalah 1.
Perlu diketahui pula bahwa data bulan dan matahari dalam Ephemeris Hisab Rukyat disajikan berdasarkan tanggal, bulan dan tahun Masehi, sehingga apabila akan menghitung waktu terjadinya ijtima’ (konjungsi) yang biasanya terjadi pada hari ke 29 bulan Qamariyah (Hijriyah) maka harus ditukar (dikonversi) terlebih dulu dengan kalender Syamsiyah (Masehi).
Selain itu, apabila akan menggunakan data yang termuat di dalamnya dengan waktu setempat (selain Greenwich), harus disesuaikan waktunya dengan waktu Greenwich sebanding dengan selisih bujurnya.
Karena data bulan dan matahari dalam Ephemeris Hisab Rukyat itu disajikan tiap jam, maka data bulan dan matahari untuk menit dan detiknya dapat diperoleh dengan melakukan penta’dilan atau interpolasi terhadap data yang ada.
Suatu hal yang tak boleh dilupakan, bahwa hari dalam kalender Syamsiyah dimulai sejak matahari berkulminasi bawah atau sesaat setelah tengah malam. Sedangkan dalam kalender Qamariyah dimulai dari sesaat setelah terbenamnya matahari untuk suatu tempat. Oleh karena waktu yang dipergunakan dalam Ephemeris menggunakan waktu Greenwich, maka permulaan harinya dimulai sejak matahari berkulminasi bahwa menurut waktu Greenwich pula, sehingga waktu terbenam matahari untuk suatu tempat harus dihitung interpolasinya dengan waktu Greenwich.
C. Proses Perhitungan
Proses perhitungan awal bulan dengan mempergunakan sistem ephemeris hisab rukyah ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menghitung Saat Ijtima’
Untuk mengetahui saat terjadinya ijtima’, pertama-tama melihat saat Fraction Illumination Bulan (FIB) terkecil.







Ket:
ELM0 = Ecliptic Longitude Matahari jam FIBmin
ALB0 = Apparent Longitude Bulan jam FIBmin
ELM1 = Ecliptic Longitude Matahari jam FIBmin + 1
ALB1 = Apparent Longitude Bulan jam FIBmin + 1
2. Menghitung Saat Terbenam Matahari
Perkiraan saat terbenam matahari jam 18.00 WIB = 11.00 GMT
a. Sudut waktu matahari saat terbenam:



Ket:
t M = sudut waktu matahari
 = lintang tempat
 M = deklinasi matahari
b. Saat matahari terbenam:



Ket:
e = equation of time (perata waktu)
t M = sudut waktu matahari
3. Menghitung Posisi Hilal Saat Terbenam Matahari.
a. Menghitung sudut waktu bulan (t B)



Ket:
t B = sudut waktu bulan
 M = ascensio recta matahari
 B = ascensio recta bulan
t M = sudut waktu matahari
b. Tinggi hakiki bulan:



Ket:
h B = tinggi hakiki bulan
 = lintang tempat
 B = deklinasi bulan
t B = sudut waktu bulan

c. Tinggi mar’i bulan:



Ket:
P = parallaks
R = refraksi
SD = semi diameter bulan
Dip = ketinggian tempat

4. Menghitung azimut matahari (AzM) dan azimut bulan (AzB)
a. Azimut matahari:



Ket:
Az M = azimut matahari
 = lintang tempat
 M = deklinasi matahari
t M = sudut waktu matahari
b. Azimut bulan:



Ket:
Az B = Azimut bulan
 = lintang tempat
 B = deklinasi bulan
t B = sudut waktu bulan

Contoh Perhitungan Awal Bulan Qamariyah.
Hitunglah saat ijtima’ dan tinggi hilal pada 29 Ramadhan 1427H/ 22 Oktober 2006 M untuk lokasi Pantai Ayah ( = -070 44’ dan .= 1090 24’ BT)!
1. Menghitung Saat Ijtima’
Saat Fraction Illumination Bulan (FIB) terkecil 0.00063 jam 05.00 GMT.
ELM0 = 2080 39’ 32’’
ELM1 = 2080 42’ 1’’
ALB0 = 2080 32’ 8’’
ALB1 = 2090 2’ 9’’

Ijtima’= ELM0 – ALB0 + saat FIBmin + 7j (dalam WIB)
(ALB1 – ALB0) – (ELM1- ELM0)
Ijtima’= 2080 39’ 32’’ – 2080 32’ 8’’ + 5j + 7j
(2090 2’ 9’’ – 2080 32’ 8’’) – (2080 42’ 1’’- 2080 39’ 32’’)
= 00 7’ 24’’ + 5j + 7j
00 27’ 32’’
= 12j 16m 7.55d WIB
2. Menghitung Saat Terbenam Matahari
Perkiraan saat terbenam matahari jam 18.00 WIB = 11.00 GMT
a. Sudut waktu matahari (t M) saat terbenam:
 = -070 44’
. = 1090 24’
 11j = -110 5’ 6’’
e 11j = 0j 15m 32d
h = -1
SWB = (1090 24’ – 1050) : 15 = 0j 17m 36d
Markaz (Tinggi tempat) = 5 m dpl
cos t M = -tg  x tg  M + sin h : cos  : cos  M
= -tg -070 44’ x tg -110 5’ 6’’+ sin -1 : cos -070 44’: cos -110 5’ 6’’
t M = 920 33’ 13’’
b. Saat matahari terbenam:
Terbenam = 12j – e + ( t M :15)
= 12j - 0j 15m 32d + (920 33’ 13’’ : 15)
= 17j 54m 41d (LMT)
= 17j 54m 41d - 0j 17m 36d = 17j 37m 5d (WIB)
= 17j 37m 5d - 7j = 10j 37m 5d (GMT)
3. Menghitung Posisi Hilal Saat Terbenam Matahari.
a. Menghitung sudut waktu bulan (t B)
 M 10j = 2060 49’ 24’’
 M 11j = 2060 51’ 46’’
 M 10j 37m 5d = 2060 49’ 24’’–(2060 49’ 24’’- 2060 51’ 46’’) : 1
x 0j 37m 5d
= 2060 50’ 52’’
 B 10j = 2070 48’ 16’’
 B 11j = 2080 16’ 33’’
 B 10j 37m 5d = 2070 48’ 16’’–(2070 48’ 16’’- 2080 16’ 33’’) : 1
x 0j 37m 5d
= 2080 5’ 45’’
t B = ( M -  B) + t M
t B = (2060 50’ 52’’- 2080 5’ 45’’) + 920 33’ 13’’
= 910 18’ 20’’
b. Tinggi hakiki bulan (h B):
 B 10j = -140 41’ 57’’
 B 11j = -140 54’ 34’’
 B 10j 37m 5d = -140 41’ 57’’–(-140 41’ 57’’- -140 54’ 34’’) : 1
x 0j 37m 5d
= -140 49’ 45’’
sin h B = sin  x sin  B + cos  x cos  B x cos t B
= sin -070 44’ x sin -140 49’ 45’’ + cos -070 44’
x cos -140 49’ 45’’ x cos 910 18’ 20’’
= 0.01261599
h B = 00 43’ 22’’
c. Tinggi mar’i bulan:
h mar’i = h hakiki – P + R + SD + Dip
h hakiki = 00 43’ 22’’
P = HP x cos h hakiki
HP 10j = 00 54’ 26’’
HP 11j = 00 54’ 26’’
HP 10j 37m 5d = 00 54’ 26’’–(00 54’ 26’’- 00 54’ 26’’) : 1
x 0j 37m 5d
= 00 54’ 26’’
P = 00 54’ 26’’ x cos 00 43’ 22’’
= 00 54’ 26’’
R = 00 42’ = 00 23.6’
R = 00 46’ = 00 23.2’
R = 00 43’ 22’’ = 00 23.6’–(00 23.6’- 00 23.2’) : 00 4’ x 00 1’ 22’’
= 00 23’ 28’’
SD 10j = 00 14’ 49.93’’
SD 11j = 00 14’ 50.11’’
SD 10j 37m 4.85d = 00 14’ 49.93’’–(00 14’ 49.93’’- 00 14’ 50.11’’) : 1
x 0j 37m 5d
= 00 14’ 50’’
Dip = 00 1.76’ x √5
= 00 3’ 56’’
h mar’i bulan = 00 43’ 22’’ - 00 54’ 26’’ + 00 23’ 28’’
+ 00 14’ 50’’ + 00 3’ 56’’
= 00 31’ 10’’


4. Menghitung azimut matahari (AzM) dan azimut bulan (AzB)
a. Azimut matahari (AzM):
 = -070 44’
t M = 920 33’ 13’’
 M 10j = -110 4’ 13’’
 M 11j = -110 5’ 6’’
 M 10j 37m 5d = -110 4’ 13’’–(-110 4’ 13’’- -110 5’ 6’’) : 1
x 0j 37m 5d
= -110 4’ 46’’
Tan Az M = -sin  : tan t M + cos  x tan  M : sin t M
Tan Az M = -sin -070 44’ : tan 920 33’ 13’’+ cos -070 44’
x tan -110 4’ 46’’: sin 920 33’ 13’’
= -110 19’ 22’’ atau (110 19’ 22’’ dari Barat  Selatan)
b. Azimut bulan (AzB):
 = -070 44’
t B = 910 18’ 20’’
 B = -140 49’ 45’’
Tan Az M = -sin  : tan t B + cos  x tan  B : sin t B
Tan Az M = -sin -070 44’ : tan 910 18’ 20’’+ cos -070 44’
x tan -140 49’ 45’’: sin 910 18’ 20’’
= -140 52’ 5’’ atau (140 52’ 5’’ dari Barat  Selatan)
BAB VI
TEKNIK RUKYAT
A.Pengertian Rukyat
Rukyat atau lengkapnya rukyatul hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam menjelang awal bulan baru khususnya menjelang bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.
Hanya saja, ketika matahari terbenam dan setelah itu langit sebelah barat berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakangi tidak begitu kontras. Oleh sebab itu, bagi mata yang kurang terlatih melakukan rukyat tentunya akan menemui kesulitan menentukan hilal yang dimaksudkan. Apabila di ufuk barat terdapat awan tipis atau awan tebal tidak merata atau bahkan orang yang melakukan rukyat tidak mengetahui pada posisi mana dimungkinkan hilal akan tampak, tentunya akan lebih mengalami kesulitan.
Atas dasar itulah, agar maksud dan tujuan pelaksanaan rukyatul hilal dapat tercapai secara optimal, kiranya diperlukan persiapan-persiapan yang matang, baik mengenai mental psikologis para perukyat, penyediaan data hilal (hasil hisab), serta peralatan dan perlengkapan yang memadai.
B.Persiapan
1.Membentuk tim.
Agar pelaksanaan rukyatul hilal itu terkoordinasi sebaiknya dibentuk suatu tim pelaksana rukyat. Tim ini hendaknya terdiri dari unsur-unsur terkait, misalnya Pengadilan Agama, Departemen Agama, Organisasi Masyarakat, Ahli Hisab, orang yang memiliki ketrampilan rukyat, dll atau dapat juga sebuah tim dari suatu organisasi masyarakat dengan koordinasi unsur-unsur terkait tersebut.
Lebih lanjut tim ini hendaknya terlebih dahulu menentukan tempat untuk pelaksanaan rukyat dengan memilih tempat yang bebas pandangan mata ke ufuk barat dan rata serta merencanakan teknis pelaksanaan rukyat dan mempersiapakan segala sesuatunya.
2.Penyediaan data hilal dan peta rukyat.
Data hilal dan peta rukyat ini dipersiapkan oleh ahli hisab yang bersangkutan yaitu dengan melakukan perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyat yang telah ditentukan oleh tim yang bersangkutan.
Data hilal yang diperlukan adalah :
a.Waktu matahari terbenam
b.Arah matahari terbenam (AM)
c.Tinggi hilal (hH)
Data tersebut kemudian diolah dengan rumus-rumus sebagai berikut :
a.Arah Matahari = tan AM x PB
b.Arah Hilal = tan AHM x PB
c.Tinggi Hilal = (PB : cos AHM) x tan H
d.Arah Hilal Terbenam = tan AHT x PB
Dengan data hilal yang ada, lebih lanjut dapat dibuat peta rukyat, yakni lukisan yang menggambarkan posisi hilal dan matahari pada saat terbenam.
Adapun cara atau langkah membuat peta rukyat adalah sebagai berikut :
a.Buat garis lurus dari atas ke bawah sepanjang (misalnya) 10 cm. Pada titik ujung bawah diberi tanda P sedangkan di titik ujung diberi tanda B, sehingga terbuat garis PB yang panjangnya 10 cm.
b.Di ujung atas (titik B) dibuat garis melintang ke kiri dan atau ke kanan (sesuai azimuth matahari dan hilal) tegak lurus pada garis PB.
c.Ukurlah titik arah matahari di garis melintang tersebut (no.2) dari titik B sepanjang hasil hitungan rumus 1. kemudia buatlah gambar matahari teoat dibawah titik ini.
d.Ukurlah titik arah hilal di garis melintang tersebut (no.2) dari titik B sepanjang hasil hitungan rumus 2
e.Kemudian dari titik ini (no.4), buatlah garis lurus putus-putus keatas sejajar dengan garis PB (no.1)
f.Ukurlah titik tinggi hilal di garis (no.5) dari garis melintang (no.2) sepanjang hasil hitungan rumus 3, kemudian buatlah gambar hilal dimana tanduk hilal bagian atas tepat di titik ini.
g.Buatlah garis lurus yang menguhubungkan antara titik titik hilal (no.6) dengan titik P.
h.Ukurlah titik arah hilal terbenam di garis melintang (no.2) dari titik B sepanjang hasil hitungan di rumus 4, kemudian buatlah garis putus-putus lurus antara titik arah hilal terbenam ini dengan titik tinggi hilal (no.6)
i.Buatlah garis lurus putus-putus yang menghubungkan titik arah hilal terbenam ini dengan titik P
Peta Rukyat
B
S








P
Gambar Peta Rukyat

Peta rukyat di atas ini dibuat berdasarkan data matahari dan hilal sebagai berikut :
AM = -110 19’ 22’’
AH = -140 52’ 5’’
hH = 00 31’ 10’’
Panjang garis PB = 10 cm, sehingga :
a.Arah matahari = tan -110 19’ 22’’x 10 = 2.00 cm
b.Arah hilal saat matahari terbenam = tan -140 52’ 5’’ x 10 = 2.65 cm
c.Tinggi hilal = 10 : cos -140 52’ 5’’x tan 00 31’ 10’’ = 0.09 cm
3.Penyediaan peralatan dan perlengkapan, yakni :
a.Theodolit (kalau ada)
b.Gawang lokasi (kalau ada)
c.Kompas (penunjuk arah)
d.Arloji/penunjuk waktu
e.Stopwatch (kalau ada)
f.Benang/tali
g.Meteran
h.Penyiku
i.Lot (pendulum, bandul)
j.Blanko Daftar Perukyat
k.Blanko Berita Acara
l.Sarana komunikasi
4.Pelaksanaan
Setelah tim pelaksana rukyat tiba di lokasi yang telah ditentukan, rencanakan sekitar satu jam sebelum matahari terbenam, kemudian yang segera dilakukan adalah melokalisir arah hilal dengan gawang lokasi atau dapat pula dengan theodolit.
a.Rukyat dengan gawang lokasi.
Apabila rukyat menggunakan gawang lokasi, maka yang sebaiknya dilakukan adalah sebagai berikut :
1)Kompas diletakkan di tempat yang datar serta bebas dari pengaruh magnit.
2)Benang ditarik ke arah barat dan timur dengan melintasi tepat titik pusat kompas, kemudian dicari arah titik barat dan titik timur, lebih lanjut dikoreksi dengan variasi kompas. Dengan demikian, benang ini menggambarkan adanya garis lurus yang mengarah ke titik barat dan titik timur sejati.
3)Menentukan sebuah titik di bagian timur benang atau garis tersebut (no.2), misalnya dengan titik P.
4)Dari titik P (no.3) diukur ke barat sepanjang sekian meter (misalnya 3 meter), kemudian diberi titik B, sehingga terbuat garis PB.
5)Pada titik B (no. 4) ini dibuat garis tegak lurus ke utara dan atau ke selatan sesuai arah hilal pada saat itu (sudut B = 900).
6)Pada garis (no.5) ini, kemudian dari titik B diukur sepanjang harga rumus b atau BG = tan AH x PB.
7)Ujung hasil ukur (no.6) diberi titik G, sehingga terbuatlah garis BG.
8)Di titik G inilah diletakkan tiang gawang lokasi yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan tiang lobang pengincar diletakkan di titik P.
9)Usahakan betul-betul tegak, jangan sampai miring. Untuk itu gunakan lot atau bandul.
10)Loba pengincar disetel sedemikian rupa (naik-turun) sesuai ketinggian mata orang yang akan melakukan pengincaran.
11)Gawang lokasi disetel pula (naik-turun) pula hingga antara lobang pengincar, sisi bawah gawang lokasi, dan ufuk tepat pada satu garis lurus.
12)Sisi atas gawang lokasi (SAG) disetel (naik-turun) setinggi harga rumus c atau SAG = (PB : cos AH) x tan hH
13)Dengan demikian, posisi hilal sesaat setelah matahari terbenam sudah dilokalisir, yaitu bila dilihat dari lobang pengicar maka hilal itu berada didalam gawang lokasi.
14)Menunggu saat matahari terbenam sambil mengamati ketebalan awan di daerah lokasi hilal. Di samping itu, kesempatan ini digunakan pula untuk mengisi daftar perukyat.
15)Setelah saat matahari terbenam tiba, seluruh pandangan dan perhatian pada posisi hilal yang sudah dilokalisir tadi. Serta salah seorang tim berusaha melihat hilal lewat lobang pengincar sambil memberikan informasi kepada pencatat yang berada di sebelahnya, agar ditulis dalam berita acara yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Usaha melihat hilal ini terus dilakukan sampai diperhitungkan hilal itu terbenam.
16)Apabila telah dapat melihat hilal, dianjurkan terus berdoa.
Setelah rukyat selesai, tim harus mengambil kesimpulan hasil rukyat yang baru saja dilakukan, yakni tentang tampak atau tidak tampaknya hilal, sebagai bahan laporan kepada pihak yang berwenang.



Ufuk Utara lubang pengincar


B
G P

selatan
Gambar rukyat dengan gawang lokasi

b.Rukyat dengan theodolit.
Apabila rukyat menggunakan theodolit, maka hal-hal yang sebaiknya dilakukan adalah sebagai berikut:
1)Siapkan data hilal menurut hisab, mengenai:
a.Azimut hilal (ketika matahari terbenam).
b.Tinggi hilal.
c.Waktu matahari terbenam.
2)Siapkan theodolit, kemudian dilakukan:
a.Mengukur azimuth hilal.
1.Pasang theodolit pada tiang penyangganya.
2.Stel theodolit (dengan 3 skrup di bagian bawah) hingga benar-benar datar (perhatikan waterpass).
3.Arahkan teleskup pada ufuk barat, kemudian stel diaframagnya hingga ufuk terlihat paling cerah.
4.Pasang kompas di puncak theodolit atau ditempat yang telah disediakan.
5.Arahkan sasaran theodolit ke titik barat, dengan mengintai pada lobang kompas (angka kompas menunjukkan 2700 dan perhatikan variasi magnit).
6.Kuncilah theodolit (dengan horisontal clamp dikencangkan), agar tidak bergerak secara horisontal.
7.Hidupkan theodolit dengan memindah tombol power ke posisi “on”.
8.Tunggu sejenak hingga display (kaca penyaji) menampilkan angka:
VA = berapa saja
HA = 000 00’ 00”
VA = Vertical Angle (untuk ketinggian)
HA = Horizontal Angle (untuk azimuth)
9.Perhatikan azimut hilal menurut hisab. Apakah posisi hilal di sebelah utara titik barat ataukah di selatannya. Apabila posisi hilal di utara titik barat, maka tekan L/R hingga tampil “R”. Apabila hilal di sebelah selatan titik barat maka tampilkan “L”.
10.Bukalah kunci horisontal tadi (kendurkan skrup horisontal clamp).
11.Arahkan sasaran theodolit sebesar azimut hilal (sasaran theodolit ke azimuth hilal ini dapat dipantau pada display, kemudian kuncilah kembali dengan horizontal clamp.
12.Apabila angka pada display kurang tepat, maka gerak horizontal theodolit dapat diperhalus dengan memutar-mutar skrup penyetel horizontal (horizontal tangent clamp).
b.Mengukur tinggi hilal.
1.Arahkan sasaran teleskop tepat pada ufuk mar’i, kemudian periksalah angka pada display (VA = ....... ?), catatlah angka itu dan gunakan untuk mengoreksi tinggi hilal hasil hisab.
2.Gerakkan teleskup ke atas-bawah, hingga display (VA) menunjukkan angka tinggi hilal setelah dilakukan koreksian tadi.
3.Kemudian kuncilah dengan pngunci vertikal (vertical clamp). Apabila angka pada display kurang tepat, maka teleskup dapat digerakkan secara halus dengan vertical tangent clamp.
Dengan demikian, posisi hilal matahari terbenam sudah terbidik dengan theodolit, yaitu bila dilihat dari lobang pengincar maka hilal berada dititik fokus lensa theodolit.
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Ali, M. Sayuthi, Ilmu Falak I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
--------------------, Ilmu Falak: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuardi, 2001.
--------------------, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Ditbinbaperais, 1981.
----------------------------, Ephemeris Hisab Rukyat tahun 2006, Jakarta: Ditbinbaperais, 2006.
----------------------------, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Balitbang, 2004.
----------------------------, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Ditbinbaperais, 1994.
----------------------------, Pedoman Teknik Rukyat, Jakarta: Balitbang, 1984.
Djambek, Saaduddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976.
Habibi, BJ., Rukyat Dengan Teknologi, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak: Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.
-----------------------, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.
Nawawi, Abd. Salam, Rukyah Hisab di Kalangan NU-Muhammadiyah, Surabaya: Diantama, 2004.
PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab, Jakarta: Sekjen PBNU, 1994.
Rachim, Abd., Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983.
Wardan, Muhamad, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Siaran, 1957.
-----------------------, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: Siaran, 1957.

b. Makalah
Fathurohman SW, Oman, “Dasar-dasar Ilmu Hisab dalam Menentukan Arah Kiblat, Waktu Shalat dan Awal Bulan Qamariyah”, Makalah, Yogyakarta: Tnp, 1999.
------------------------------, “Pengertian Hisab Rukyat, Kalender dan Perbandingan Tarikh”, Makalah, Yogyakarta: Tnp, 1995.
Rachim, Abd., “Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris”, Makalah, Yogyakarta: Tnp, 1996.
Zuhdi, M., “Relevansi Sistem Hisab Taqribi di Masa Kini” Makalah, Pekalongan: Tnp